Halaman
Tampilkan postingan dengan label History. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label History. Tampilkan semua postingan
Kamis, 02 Juni 2011
Sejarah Kampak
Kampak merupakan salah satu Kecamatan dari Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kampak terletak 18Km sebelah selatan kota Trenggalek. Kampak dikelilingi kecamatan Munjungan,Watulimo,Gandusari,Dongko dan Karangan. Kecamatan Kampak mayoritas daerah perbukitan dan hanya sebagian kecil dataran rendah yang merupakan sebuah lembah yang dibelah 2 sungai. Mata pencaharian mayoritas penduduknya petani sawah dan hutan lainnya pedagang dan pegawai negeri. Karena sulitnya mencari lapangan kerja banyak pemuda dan pemudinya merantau baik ke kota besar,luar jawa maupun ke luar negeri untuk jadi TKI. Mungkin memang dari sejarahnya Kampak adalah tempat pelarian
Label:
Anjuk Ladang,
Asal-Usul Kampak,
History,
Laskar Kampak,
Mpu Sindok,
Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno,
Prasasti Kampak,
Sejarah,
Sejarah Kampak,
Trenggalek dalam Sejarah
Jumat, 28 Mei 2010
Sejarah Kampak
Kampak merupakan salah satu Kecamatan dari Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kampak terletak 18Km sebelah selatan kota Trenggalek. Kampak dikelilingi kecamatan Munjungan,Watulimo,Gandusari,Dongko dan Karangan. Kecamatan Kampak mayoritas daerah perbukitan dan hanya sebagian kecil dataran rendah yang merupakan sebuah lembah yang dibelah 2 sungai. Mata pencaharian mayoritas penduduknya petani sawah dan hutan lainnya pedagang dan pegawai negeri. Karena sulitnya mencari lapangan kerja banyak pemuda dan pemudinya merantau baik ke kota besar,luar jawa maupun ke luar negeri untuk jadi TKI. Mungkin memang dari sejarahnya Kampak adalah tempat pelarian dan bukan tempat yang ramah untuk mencari nafkah.
Asal Usul Kampak
Menurut penelusuran sejarah Kampak sudah ada dan pernah disinggahi manusia sejak jaman Pra Sejarah. Banyak bukti-bukti sejarah yang membenarkan bahwa Kampak pernah jadi daerah yang pernah disinggahi manusia Pra Sejarah diantaranya batu-batuan jaman Pra Sejarah. Namun untuk sampai pada Kapan Nama Kampak mulai dipakai, sampai sekarang belum ada penelitian yang mengarah pada pencarian asal usul Nama Kampak. Yang ada selama ini hanya cerita rakyat apa maksud dari kata Kampak. Ada 2 versi menurut cerita rakyat. Yang pertama arti kata Kampak adalah Perampok yang menurut bahasa Jawa Kuno memang artinya Kampak. Yang Kedua Ampak-ampak juga dari bahasa Jawa Kuno yang berarti Kabut Gelap yang menutupi Hutan Kampak sehingga tidak ada yang berani memasukinya. Dari 2 kata ini secara logika sebenarnya sudah bisa ditebak. Orang jaman dahulu terkenal kesaktiannya,jangankan memasuki kabut gelap memasuki gua yang gelap dan hutan belantara biasa dilakukan orang jaman dahulu. Terkecuali dalam Kabut gelap itu ada sesuatu mungkin itulah yang jadi penyebab ketidakberanian orang-orang memasuki hutan Kampak. Jawaban yang mendekati kebenaran teori ini adalah Hutan Kampak merupakan Sarang Perampok. Lantas Perampok dari mana dan kenapa harus bersarang di hutan Kampak? Inilah yang dengan sepenggal pengetahuan saya akan coba saya ungkapkan. Menurut cerita rakyat juga, ketika masih jaman Hindia Belanda tak ada orang yang berani memberi tempat penginapan kepada warga Kampak apabila bepergian kemalaman ke daerah Tulungagung atau Ponorogo kabupaten yang mengapit Trenggalek. Dari sini sudah jelas,memang sejak dahulu Kampak sudah ditakuti karena Sarang Rampoknya.
Menurut Prasasti Kampak yang pernah ditemukan di Sumber Ngudalan Dukuh Kampak Desa Karangrejo, tertulis karena rasa terimakasih Mpu Sindok kepada warga telah ikut membantu perjuangannya maka warga Perdikan Kampak yang wilayahnya ke selatan sampai Laut Selatan mendapat Tanah Bebas Pajak pada masa pemerintahannya. Angka tahun yang tertera dalam prasasti itu adalah 851 Syaka/929 Masehi, artinya menurut catatan sejarah Tahun itulah pertama kali Mpu Sindok berkuasa. Dari sini sudah jelas, sejak kapan Kata Kampak dipakai. Sejak ada prasasti itulah kata Kampak dipakai dengan adanya kata-kata Perdikan Kampak. Jadi jelasnya Kampak umurnya lebih tua dari nama kabupaten Trenggalek. Kenapa Mpu Sindok menamakan daerah ini dengan Perdikan Kampak? Inilah yang coba saya ungkap dengan keterbatasan pengetahuan saya menggunakan pengetahuan batiniah sebagai penduduk asli Kampak.
Akibat dari konflik yang terus terjadi di Kerajaan Mataram,Mpu Sindok menyadari perlunya sebuah kekuatan/prajurit/tentara siluman yang siap mempertahankan Kerajaan Mataram dari kehancuran. Dari pengembaraannya sampailah Mpu Sindok di daerah lembah yang dibelah 2 buah sungai dan dalam lembah itu hidup para pertapa dan penduduk yang masih sedikit. Sampai di sini Mpu Sindok merasakan ketenangan dan kedamaian hidup. Di Lembah ini Mpu Sindok juga memperdalam pengetahuan batinnya agar lebih dekat dengan Sang Pencipta. Setelah dirasa cukup maka pulanglah kembali dia ke pusat Kerajaan Mataram karena waktu itu dia masih jadi Pembesar Kerajaan. Setiap ada kesempatan Mpu Sindok datang ke Lembah Kampak dengan membawa sedikit demi sedikit pengikutnya untuk dididik dan digembleng di Lembah Pertapaan Kampak sampai jadi kekuatan siluman yang suatu saat bisa di andalkan. Kenapa saya sebut Kampak daerah Pertapaan karena sebelum peristiwa G30 S banyak batu-batu tua yang menggambarkan daerah ini sebelumnya daerah pertapaan. Penduduk sekitar setiap ada acara atau pra/pasca panen datang ke tempat batu-batu itu berada untuk mengadakan selamatan.
Kemudian datang serangan hebat dari Kerajaan Sriwijaya dan Sekutunya di Tanah Jawa sehingga Kerajaan Mataram hancur lebur. Memang sudah lama permusuhan Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Sriwijaya semenjak kekalahan Balaputra Dewa dari Rakai Pikatan kemudian melarikan diri ke Sriwijaya dan menjadi raja Sriwijaya. Mpu Sindok dan para pembesar kerajaan yang masih hidup melarikan diri ke Lembah Kampak dan mempersiapkan Teror untuk menghancurkan Kerajaan Boneka Sriwijaya. Laskar-laskar Kampak yang terdiri dari penduduk Perdikan Kampak dan sisa-sisa tentara Kerajaan Medang/Mataram mulai menebar teror dengan Merampok setiap Upeti/Pajak yang akan dikirim ke Kerajaan Boneka Sriwijaya. Mulai saat itulah Kampak/Rampok mulai dikenal semua orang karena keganasannya. Barang-barang hasil rampokan ini disimpan untuk biaya perjuangan selanjutnya menegakkan Kerajaan Medang/Mataram kembali. Tak ada yang berani memasuki wilayah Kampak karena kabutnya dan banyaknya jebakan sehingga pada saat itu dan selanjutnnya Kampak ditakuti oleh semua penduduk Jawa yang mendengarnya. Sampai pada akhirnya terjadi pertempuran hebat antara pasukan Sriwijaya dan Laskar Kampak/Mpu Sindok di daerah Anjuk Ladang(Nganjuk) dan kemenangan diraih pihak Mpu Sindok kemudian diabadikan dalam sebuah prasasti yang sekarang jadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk dan sebutan asal muasal Nganjuk.
Setelah kemenangan ini Mpu Sindok,seluruh punggawa mataram dan keluarga yang masih tersisa para prajurit beserta barang-barang kerajaan mataram mencari tempat baru untuk dijadikan Istana Baru Kerajaan Medang/Mataram. Sampailah pada daerah Tamwlang kemudian didirikan Istana Sementara kemudian pindah lagi ke Watugaluh/Megaluh(Jombang) disinilah Istana Kerajaan Medang/Mataram baru dibangun dan Mpu Sindok menggunakan Wangsa Baru Isyana karena mungkin memang Mpu Sindok bukan termasuk Wangsa Sanjaya sebagaimana pendahulunya. Gelar Mpu Sindok adalah Sri Icana Wikramadharmottunggadewa, dengan Lambang Kerajaan TRISULA terbalik. Banyak peninggalan Mpu Sindok disamping prasasti diantaranya sebuah situs percandian di kaki Gunung Welirang Mojokerto yang yang sampai saat ini belum diteliti oleh pihak purbakala karena konflik dengan pengelola TAHURA sebagaimana wilayah hutan di kaki Gunung Welirang ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Dari uraian tadi kiranya ada kaitan antara Prasasti Kampak dan Prasasti Anjuk Ladang dan menurut saya pembuatan Prasasti tersebut bersamaan mengingat dari Tahun Pembuatannya dan Historisnya. Jadi seandainya pihak Pemkab Kabupaten Trenggalek ingin menetapkan Hari Jadi Trenggalek yang lebih tua maka Prasasti Kampak dan Prasasti Anjuk Ladang jadi acuannya karena selama ini yang dipakai adalah Prasasti Kamulan pada masa Raja Kertajaya dari Kerajaan Kediri, padahal jauh sebelum itu Perdikan Kampak sudah jadi Tempat Pelarian Mpu Sindok yang tentunya punya nilai Historis yang lebih tinggi. Menurut saya sepantasnya Hari Jadi Trenggalek(Kampak) sama dengan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk karena menurut Historis kenapa Prasasti dikeluarkan. Karena Prasati Kampak tidak ada tanggal dan bulan pembuatannya, maka acuannya adalah Prasasti Anjuk Ladang yang ada tanggal dan bulan pembuataanya.
Kiranya pengungkapan Sejarah Kampak diatas adalah sepenggal pengetahuan penulis ditambah dengan catatan sejarah, cerita rakyat, dan olah batin penulis menembus dimensi masa lalu. Ada kurang dan lebihnya saya sebagai manusia biasa tak luput dari salah dan lupa. Tulisan di atas setidaknya bermanfaat bagi semua yang ingin menggali Sejarah Kampak yang memang belum ada dalam buku sejarah apapun. Inilah wujud kecintaan penulis pada tanah kelahirannya dan penduduk Kampak secara keseluruhan juga Trenggalek pada umumnya. Sebenarnya menurut penulis Kampak adalah Situs Sejarah yang ikut membentuk Tatanan Kerajaan sampai terbentuk Negara Indonesia sekarang. Banyak Situs di Kampak yang belum terungkap sampai misterinya, termasuk Pelarian Raja Airlangga yang pernah sampai di Kampak mengikuti kisah Leluhurnya Mpu Sindok yang sampai sekarang belum terungkap dan semoga suatu saat bisa terungkap dengan ditemukannya catatan sejarah berupa prasasti(menurut penulis). Wassalam….
Asal Usul Kampak
Menurut penelusuran sejarah Kampak sudah ada dan pernah disinggahi manusia sejak jaman Pra Sejarah. Banyak bukti-bukti sejarah yang membenarkan bahwa Kampak pernah jadi daerah yang pernah disinggahi manusia Pra Sejarah diantaranya batu-batuan jaman Pra Sejarah. Namun untuk sampai pada Kapan Nama Kampak mulai dipakai, sampai sekarang belum ada penelitian yang mengarah pada pencarian asal usul Nama Kampak. Yang ada selama ini hanya cerita rakyat apa maksud dari kata Kampak. Ada 2 versi menurut cerita rakyat. Yang pertama arti kata Kampak adalah Perampok yang menurut bahasa Jawa Kuno memang artinya Kampak. Yang Kedua Ampak-ampak juga dari bahasa Jawa Kuno yang berarti Kabut Gelap yang menutupi Hutan Kampak sehingga tidak ada yang berani memasukinya. Dari 2 kata ini secara logika sebenarnya sudah bisa ditebak. Orang jaman dahulu terkenal kesaktiannya,jangankan memasuki kabut gelap memasuki gua yang gelap dan hutan belantara biasa dilakukan orang jaman dahulu. Terkecuali dalam Kabut gelap itu ada sesuatu mungkin itulah yang jadi penyebab ketidakberanian orang-orang memasuki hutan Kampak. Jawaban yang mendekati kebenaran teori ini adalah Hutan Kampak merupakan Sarang Perampok. Lantas Perampok dari mana dan kenapa harus bersarang di hutan Kampak? Inilah yang dengan sepenggal pengetahuan saya akan coba saya ungkapkan. Menurut cerita rakyat juga, ketika masih jaman Hindia Belanda tak ada orang yang berani memberi tempat penginapan kepada warga Kampak apabila bepergian kemalaman ke daerah Tulungagung atau Ponorogo kabupaten yang mengapit Trenggalek. Dari sini sudah jelas,memang sejak dahulu Kampak sudah ditakuti karena Sarang Rampoknya.
Menurut Prasasti Kampak yang pernah ditemukan di Sumber Ngudalan Dukuh Kampak Desa Karangrejo, tertulis karena rasa terimakasih Mpu Sindok kepada warga telah ikut membantu perjuangannya maka warga Perdikan Kampak yang wilayahnya ke selatan sampai Laut Selatan mendapat Tanah Bebas Pajak pada masa pemerintahannya. Angka tahun yang tertera dalam prasasti itu adalah 851 Syaka/929 Masehi, artinya menurut catatan sejarah Tahun itulah pertama kali Mpu Sindok berkuasa. Dari sini sudah jelas, sejak kapan Kata Kampak dipakai. Sejak ada prasasti itulah kata Kampak dipakai dengan adanya kata-kata Perdikan Kampak. Jadi jelasnya Kampak umurnya lebih tua dari nama kabupaten Trenggalek. Kenapa Mpu Sindok menamakan daerah ini dengan Perdikan Kampak? Inilah yang coba saya ungkap dengan keterbatasan pengetahuan saya menggunakan pengetahuan batiniah sebagai penduduk asli Kampak.
Akibat dari konflik yang terus terjadi di Kerajaan Mataram,Mpu Sindok menyadari perlunya sebuah kekuatan/prajurit/tentara siluman yang siap mempertahankan Kerajaan Mataram dari kehancuran. Dari pengembaraannya sampailah Mpu Sindok di daerah lembah yang dibelah 2 buah sungai dan dalam lembah itu hidup para pertapa dan penduduk yang masih sedikit. Sampai di sini Mpu Sindok merasakan ketenangan dan kedamaian hidup. Di Lembah ini Mpu Sindok juga memperdalam pengetahuan batinnya agar lebih dekat dengan Sang Pencipta. Setelah dirasa cukup maka pulanglah kembali dia ke pusat Kerajaan Mataram karena waktu itu dia masih jadi Pembesar Kerajaan. Setiap ada kesempatan Mpu Sindok datang ke Lembah Kampak dengan membawa sedikit demi sedikit pengikutnya untuk dididik dan digembleng di Lembah Pertapaan Kampak sampai jadi kekuatan siluman yang suatu saat bisa di andalkan. Kenapa saya sebut Kampak daerah Pertapaan karena sebelum peristiwa G30 S banyak batu-batu tua yang menggambarkan daerah ini sebelumnya daerah pertapaan. Penduduk sekitar setiap ada acara atau pra/pasca panen datang ke tempat batu-batu itu berada untuk mengadakan selamatan.
Kemudian datang serangan hebat dari Kerajaan Sriwijaya dan Sekutunya di Tanah Jawa sehingga Kerajaan Mataram hancur lebur. Memang sudah lama permusuhan Kerajaan Mataram dengan Kerajaan Sriwijaya semenjak kekalahan Balaputra Dewa dari Rakai Pikatan kemudian melarikan diri ke Sriwijaya dan menjadi raja Sriwijaya. Mpu Sindok dan para pembesar kerajaan yang masih hidup melarikan diri ke Lembah Kampak dan mempersiapkan Teror untuk menghancurkan Kerajaan Boneka Sriwijaya. Laskar-laskar Kampak yang terdiri dari penduduk Perdikan Kampak dan sisa-sisa tentara Kerajaan Medang/Mataram mulai menebar teror dengan Merampok setiap Upeti/Pajak yang akan dikirim ke Kerajaan Boneka Sriwijaya. Mulai saat itulah Kampak/Rampok mulai dikenal semua orang karena keganasannya. Barang-barang hasil rampokan ini disimpan untuk biaya perjuangan selanjutnya menegakkan Kerajaan Medang/Mataram kembali. Tak ada yang berani memasuki wilayah Kampak karena kabutnya dan banyaknya jebakan sehingga pada saat itu dan selanjutnnya Kampak ditakuti oleh semua penduduk Jawa yang mendengarnya. Sampai pada akhirnya terjadi pertempuran hebat antara pasukan Sriwijaya dan Laskar Kampak/Mpu Sindok di daerah Anjuk Ladang(Nganjuk) dan kemenangan diraih pihak Mpu Sindok kemudian diabadikan dalam sebuah prasasti yang sekarang jadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk dan sebutan asal muasal Nganjuk.
Setelah kemenangan ini Mpu Sindok,seluruh punggawa mataram dan keluarga yang masih tersisa para prajurit beserta barang-barang kerajaan mataram mencari tempat baru untuk dijadikan Istana Baru Kerajaan Medang/Mataram. Sampailah pada daerah Tamwlang kemudian didirikan Istana Sementara kemudian pindah lagi ke Watugaluh/Megaluh(Jombang) disinilah Istana Kerajaan Medang/Mataram baru dibangun dan Mpu Sindok menggunakan Wangsa Baru Isyana karena mungkin memang Mpu Sindok bukan termasuk Wangsa Sanjaya sebagaimana pendahulunya. Gelar Mpu Sindok adalah Sri Icana Wikramadharmottunggadewa, dengan Lambang Kerajaan TRISULA terbalik. Banyak peninggalan Mpu Sindok disamping prasasti diantaranya sebuah situs percandian di kaki Gunung Welirang Mojokerto yang yang sampai saat ini belum diteliti oleh pihak purbakala karena konflik dengan pengelola TAHURA sebagaimana wilayah hutan di kaki Gunung Welirang ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Dari uraian tadi kiranya ada kaitan antara Prasasti Kampak dan Prasasti Anjuk Ladang dan menurut saya pembuatan Prasasti tersebut bersamaan mengingat dari Tahun Pembuatannya dan Historisnya. Jadi seandainya pihak Pemkab Kabupaten Trenggalek ingin menetapkan Hari Jadi Trenggalek yang lebih tua maka Prasasti Kampak dan Prasasti Anjuk Ladang jadi acuannya karena selama ini yang dipakai adalah Prasasti Kamulan pada masa Raja Kertajaya dari Kerajaan Kediri, padahal jauh sebelum itu Perdikan Kampak sudah jadi Tempat Pelarian Mpu Sindok yang tentunya punya nilai Historis yang lebih tinggi. Menurut saya sepantasnya Hari Jadi Trenggalek(Kampak) sama dengan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk karena menurut Historis kenapa Prasasti dikeluarkan. Karena Prasati Kampak tidak ada tanggal dan bulan pembuatannya, maka acuannya adalah Prasasti Anjuk Ladang yang ada tanggal dan bulan pembuataanya.
Kiranya pengungkapan Sejarah Kampak diatas adalah sepenggal pengetahuan penulis ditambah dengan catatan sejarah, cerita rakyat, dan olah batin penulis menembus dimensi masa lalu. Ada kurang dan lebihnya saya sebagai manusia biasa tak luput dari salah dan lupa. Tulisan di atas setidaknya bermanfaat bagi semua yang ingin menggali Sejarah Kampak yang memang belum ada dalam buku sejarah apapun. Inilah wujud kecintaan penulis pada tanah kelahirannya dan penduduk Kampak secara keseluruhan juga Trenggalek pada umumnya. Sebenarnya menurut penulis Kampak adalah Situs Sejarah yang ikut membentuk Tatanan Kerajaan sampai terbentuk Negara Indonesia sekarang. Banyak Situs di Kampak yang belum terungkap sampai misterinya, termasuk Pelarian Raja Airlangga yang pernah sampai di Kampak mengikuti kisah Leluhurnya Mpu Sindok yang sampai sekarang belum terungkap dan semoga suatu saat bisa terungkap dengan ditemukannya catatan sejarah berupa prasasti(menurut penulis). Wassalam….
Label:
Anjuk Ladang,
Asal-Usul Kampak,
History,
Laskar Kampak,
Mpu Sindok,
Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno,
Prasasti Kampak,
Sejarah,
Sejarah Kampak,
Trenggalek dalam Sejarah
Rabu, 28 April 2010
Airlangga
Patung Airlangga yang didewakan berupa Dewa Wisnu mengendarai Garuda, ditemukan di desa Belahan, koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.
Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.
Asal-usul
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Masa pelarian
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.[2]
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa.
Masa peperangan
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Masa pembangunan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pembelahan kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[rujukan?] sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Akhir hayat
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Kahuripan, Daha atau Panjalu
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.
Sumber : Wikipedia
Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.
Asal-usul
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Masa pelarian
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.[2]
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa.
Masa peperangan
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Masa pembangunan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pembelahan kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[rujukan?] sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Akhir hayat
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Kahuripan, Daha atau Panjalu
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.
Sumber : Wikipedia
Wangsa Syailendra
Śailendra adalah nama wangsa atau dinasti yang sebagian besar raja-rajanya menganut agama Buddha Mahāyāna yang berkuasa di Mdaŋ Kerajaan Mataram Kuno sejak tahun 752. Wangsa ini hidup berdampingan dengan Wangsa Sañjaya yang berkuasa sejak tahun 732, di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Asal-usul
Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam Prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra), Prasasti Sojomerto dari tahun 725 Masehi (selendranamah)dan Prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam Prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan Prasasti Nālanda.
Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarahwan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Śailendra berasal dari India, dari Funan, dan penduduk asli dari Nusantara.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiyaŋ. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hiyaŋ dengan bala tentaranya. Pada waktu itu Śrīwijaya pusatnya ada di Semenanjung Tanah Melayu.
Pernyataan yang hampir senada dengan Moens dikemukakan oleh Slametmulyana. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar dapunta pada Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada Prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena asal bahasa Melayu Kuno itu dari Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah dari Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa Dapunta Selendra adalah salah seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang menyingkir ke pantai utara Jawa di sekitar Pekalongan.
Teori Funan
Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Mdaŋ (Matarām) pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra.
Teori Jawa
Pendapat bahwa keluarga Śailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiva. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sañjaya menyuruh anaknya R. Panaraban atau R. Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.
Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.
Nama “Dapunta Selendra” jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit “Śailendra” karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.
Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T'ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Era Mataram Kuna
Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa. Pada awal era Mataram Kuna, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuna dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Smaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Smaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.
Daftar raja-raja
Pendapat umum menyebutkan raja-raja Wangsa Sailendra adalah sebagai berikut,
Bhanu (752-775), raja pertama dan pendiri Wangsa Syailendra
Wisnu (775-782), Candi Borobudur mulai dibangun
Indra (782-812), menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (Kamboja), serta mendudukinya selama 12 tahun
Samaratungga (812-833), Candi Borobudur selesai dibangun
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan, pangeran Wangsa Sanjaya
Balaputradewa (833-850), melarikan diri ke Sriwijaya setelah dikalahkan Rakai Pikatan
Akan tetapi, beberapa sejarawan tampaknya menolak urutan ini. Misalnya, Slamet Muljana berpendapat bahwa anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Porbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra.
Runtuhnya Wangsa Syailendra
Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya.
Sumber : Wikipedia
Asal-usul
Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam Prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra), Prasasti Sojomerto dari tahun 725 Masehi (selendranamah)dan Prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam Prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan Prasasti Nālanda.
Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarahwan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Śailendra berasal dari India, dari Funan, dan penduduk asli dari Nusantara.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiyaŋ. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hiyaŋ dengan bala tentaranya. Pada waktu itu Śrīwijaya pusatnya ada di Semenanjung Tanah Melayu.
Pernyataan yang hampir senada dengan Moens dikemukakan oleh Slametmulyana. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar dapunta pada Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada Prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena asal bahasa Melayu Kuno itu dari Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah dari Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa Dapunta Selendra adalah salah seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang menyingkir ke pantai utara Jawa di sekitar Pekalongan.
Teori Funan
Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Mdaŋ (Matarām) pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra.
Teori Jawa
Pendapat bahwa keluarga Śailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiva. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sañjaya menyuruh anaknya R. Panaraban atau R. Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.
Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.
Nama “Dapunta Selendra” jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit “Śailendra” karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.
Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T'ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Era Mataram Kuna
Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa. Pada awal era Mataram Kuna, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuna dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Smaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Smaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.
Daftar raja-raja
Pendapat umum menyebutkan raja-raja Wangsa Sailendra adalah sebagai berikut,
Bhanu (752-775), raja pertama dan pendiri Wangsa Syailendra
Wisnu (775-782), Candi Borobudur mulai dibangun
Indra (782-812), menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (Kamboja), serta mendudukinya selama 12 tahun
Samaratungga (812-833), Candi Borobudur selesai dibangun
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan, pangeran Wangsa Sanjaya
Balaputradewa (833-850), melarikan diri ke Sriwijaya setelah dikalahkan Rakai Pikatan
Akan tetapi, beberapa sejarawan tampaknya menolak urutan ini. Misalnya, Slamet Muljana berpendapat bahwa anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Porbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra.
Runtuhnya Wangsa Syailendra
Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya.
Sumber : Wikipedia
Langganan:
Postingan (Atom)