SEBUAH tim arkeologi yang mendasarkan penelitiannya pada Alkitab mengaku telah menemukan sisa-sisa bahtera nabi Nuh di Gunung Ararat pada ketinggian 13 ribu kaki, di wilayah timur Turki. Tim peneliti bernama Noah's Ark Ministries International yang terdiri dari para arkeolog asal China dan Turki mengklaim telah menemukan sisa kayu bahtera Nuh.
Tim peneliti mengklaim bahwa tes karbon menunjukkan relik itu berumur 4800 tahun, atau hampir sama dengan saat-saat ketika bahtera Nuh mulai mengapung. Salah satu peneliti, Yeung Wing-Cheung, menyatakan bahwa hampir bisa dipastikan temuan di Ararat itu merupakan bahtera Nabi Nuh. "Memang tidak 100 persen itu bahtera Nabi Nuh. Tetap kami berpikir ini 99,9 persen adalah bahtera Nuh," ujar Yeung seperti dikutip The Sun edisi Rabu (28/4).
Menurutnya, struktur kayu-kayu temuan tim itu memuat banyak kompartemen, beberapa di antaranya dengan balok kayu, yang diyakini pernah digunakan untuk kandang hewan. Tim tersebut juga mengesampingkan kemungkinan bahwa temuan tersebut bekas pemukiman. "Karena di sekitarnya tidak pernah ditemukan (pemukiman) di ketingggian 11 ribu kaki," tegas Yeung.
Atas temuan itu, pejabat pemda setempat akan meminta pemerintah pusat Turki di Ankara agar situs itu dimasukkan dalam daftar World Heritage (warisan dunia) di UNESCO, sehingga bisa terlindungi dan penggalian secara arkeologis tetap bisa dilakukan.
Disebutkan, Tuhan memutuskan untuk membanjiri bumi setelah melihat betapa korup dan rusaknya zaman itu. Tuhan pun memerintahkan Nabi Nuh membangun bahtera raksasa dan mengisinya dengan binatang masing-masing sepasang.
Tak hanya itu, Alkitab juga merincikan, setelah banjir surut bahtera Nuh terdampar di gunung. Banyak yang percaya gunung itu adalah Gunung Ararat, titik tertinggi di wilayah tersebut, di mana bahtera Nuh dan penumpangnya terdampar.
Sumber : Radar Sulawesi/Ara-jawapost.net.news
Halaman
Jumat, 30 April 2010
Kamis, 29 April 2010
Tip Masuk Rangking Alexa
Pada awalnya aku ngenet,sering aku mendengar rangking Alexa. Walau begitu aku gak begitu ‘ngeh’ dengan yang dinamakan rangking Alexa. Sampai suatu saat iseng-iseng aku buat blog yang tentu aja nyari yang gratisan. Akhirnya jadi juga blog aku walau tiap hari aku edit sana sini tapi tak apalah,namanya juga baru belajar. Katakanlah aku bikin blog baru seumur kecambah…..Memang belum ada sebulan ini aku bikin blog. N isinya juga aku comot sana sini karena aku memang belum punya bahan n mood untuk bikin tulisan sendiri. Tau gak pengalaman pertama ini,yang buka blog aku juga Cuma aku sendiri,karena aku juga belum pernah promosi blog aku kemana-mana. Lalu apa hubungannya dengan alexa ? Yah….setelah aku baca tulisan kawan2 blogger, blog kita bisa jadi ladang penghasilan asal kita kelola dengan baik Lalu iseng2 coba ngedaftar ke salah satu situs untuk nyari pundi2 dolar. Tau gak apa salah satu syaratnya, blog kita harus punya rangking Alexa 1jt ke bawah. Alamak…. Jangankan 1jt,aku coba lihat blog aku aja di Alexa belum masuk rangking yang artinya No Rank,hehehe….Akhirnya aku cari tau ke blog kawan2,gmn seh ningkatin rangking kita di Alexa ? Akhirnya jadilah tulisan orisinil aku pertama ini dari sumber kawan2 blogger n aku ambil intinya aja. Memang seh setelah ngedaftar di Alexa rangking aku masih 10jutaan,tp tak apalah mengingat umur blog aku yang baru beberapa hari.
Jadi, inilah TIP MASUK RANGKING ALEXA :
1. Alexa Traffic
Rangking Alexa adalah rangking untuk menentukan seberapa banyak trafik sebuah website dikunjungi itulah yang menjadi dasar. Jadi semakin baik trafik sebuah website artinya website tersebut tambah popular. Penentuan Rangking adalah pentuan Kepopuleran website
2. Alexa Toolbar
Instal Alexa Toolbar di browser kamu. Katanya seh bisa ningkatin rangking blog kita. Sebenarnya bukan hanya blo/website kita, tapi blog/website apapun yang dikunjungi browser yang terinstal toolbar Alexa punya pengaruh dalam peningkatan rangking di Alexa. Logikanya setiap kita browser dengan toolbar Alexa,maka kita ngelink apapun secara otomatis terlihat mesin Alexa. Jadi tiap hari kamu kunjungi blog kamu sendiri dengan toolbar Alexa sudah terinstal di browser kamu, maka mesin Alexa pasti ngomong gini, ‘ini blog siapa seh koq tiap hari masuk, klo gtu udah deh aku tingkatin rangking tuh blog karena pasti populer’ Hahaha……Klo pengi install toolbar alexa DI SINI
3. Alexa Widget
Pasang Alexa site stat widget di websitemu. Alexa site stat ini mengandung javascript yang mengantarkan setiap data pengunjung (ping) ke server Alexa sehingga statistik Alexa menjadi lebih akurat. Masuk aja di sini dan ambil scriptnya kemudian copy/paste ke Blog/Website kita.
.4. Alexa Blog/Content
Tulis posting tentang Alexa di Blog/website kamu seperti yang aku lakukan sekarang. Tujuannya agar Mbak Alexa ngelirik Blog/Website kamu. Dengan demikian akan mempunyai nilai tambah bagi Blog/Website kamu untuk meningkatkan rangking.
5. Blog/Website Toolbar
Terakhir ganti Address Bar utama browser kamu atau browser warnet/kantor/teman kamu dengan alamat Blog/Website kamu. Jadi setiap browser akan melewati Blog/Website kamu n secara otomatis Blog/Website kamu akn sering dibuka. Dengan demikian Blog/Website kamu akan semakin populer dimata Alexa. Jadi deh Blog/Website kamu akan terkatrol dengan cepat dalam rengking Alexa.
Semoga bermanfaat bagi semua.
Jadi, inilah TIP MASUK RANGKING ALEXA :
1. Alexa Traffic
Rangking Alexa adalah rangking untuk menentukan seberapa banyak trafik sebuah website dikunjungi itulah yang menjadi dasar. Jadi semakin baik trafik sebuah website artinya website tersebut tambah popular. Penentuan Rangking adalah pentuan Kepopuleran website
2. Alexa Toolbar
Instal Alexa Toolbar di browser kamu. Katanya seh bisa ningkatin rangking blog kita. Sebenarnya bukan hanya blo/website kita, tapi blog/website apapun yang dikunjungi browser yang terinstal toolbar Alexa punya pengaruh dalam peningkatan rangking di Alexa. Logikanya setiap kita browser dengan toolbar Alexa,maka kita ngelink apapun secara otomatis terlihat mesin Alexa. Jadi tiap hari kamu kunjungi blog kamu sendiri dengan toolbar Alexa sudah terinstal di browser kamu, maka mesin Alexa pasti ngomong gini, ‘ini blog siapa seh koq tiap hari masuk, klo gtu udah deh aku tingkatin rangking tuh blog karena pasti populer’ Hahaha……Klo pengi install toolbar alexa DI SINI
3. Alexa Widget
Pasang Alexa site stat widget di websitemu. Alexa site stat ini mengandung javascript yang mengantarkan setiap data pengunjung (ping) ke server Alexa sehingga statistik Alexa menjadi lebih akurat. Masuk aja di sini dan ambil scriptnya kemudian copy/paste ke Blog/Website kita.
.4. Alexa Blog/Content
Tulis posting tentang Alexa di Blog/website kamu seperti yang aku lakukan sekarang. Tujuannya agar Mbak Alexa ngelirik Blog/Website kamu. Dengan demikian akan mempunyai nilai tambah bagi Blog/Website kamu untuk meningkatkan rangking.
5. Blog/Website Toolbar
Terakhir ganti Address Bar utama browser kamu atau browser warnet/kantor/teman kamu dengan alamat Blog/Website kamu. Jadi setiap browser akan melewati Blog/Website kamu n secara otomatis Blog/Website kamu akn sering dibuka. Dengan demikian Blog/Website kamu akan semakin populer dimata Alexa. Jadi deh Blog/Website kamu akan terkatrol dengan cepat dalam rengking Alexa.
Semoga bermanfaat bagi semua.
Rabu, 28 April 2010
Sunan Krapyak
Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati ing Alaga Mataram (lahir: Kotagede, ? - wafat: Krapyak, 1613) adalah raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Ia juga sering disebut dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Sering juga disebut Sunan Krapyak. Tokoh ini merupakan ayah dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram yang juga pahlawan nasional Indonesia.
Silsilah keluarga
Nama asli Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang, putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati. Antara kedua orang tua Mas Jolang tersebut masih terjalin hubungan sepupu.
Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, padahal Mas Jolang terlanjur berjanji jika kelak dirinya menjadi raja, kedudukan Adipati Anom akan diwariskan kepada putra yang dilahirkan Ratu Tulungayu.
Mas Jolang kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik).
Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martopuro. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
Peran awal
Mas Jolang pernah dikirim ayahnya untuk menghadapi pemberontakan pamannya dari pihak ibu, yaitu Adipati Pragola dari Pati tahun 1600.
Pemberontakan tersebut dipicu oleh perkawinan Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua. Pragola marah karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas Waskitajawi) terancam. Ia pun memberontak menyatakan Pati lepas dari Mataram.
Panembahan Senapati menugasi Mas Jolang untuk memadamkan pemberontakan Pragola. Namun ia tidak mampu mengalahkan kesaktian pamannya itu. Ia bahkan jatuh pingsan karena terluka menghadapi Pragola dan terpaksa dibawa mundur oleh pasukannya.
Pemberontakan Adipati Pragola akhirnya ditumpas langsung oleh Panembahan Senapati sendiri.
Pemberontakan Pangeran Puger
Pangeran Puger alias Raden Mas Kentol Kejuron adalah putra kedua Panembahan Senapati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Saat itu putra pertama Senapati yang bernama Raden Rangga Samudra (lahir dari Rara Semangkin) telah meninggal sejak lama. Hal ini membuat Pangeran Puger menjadi putra tertua dan merasa lebih berhak atas takhta Kesultanan Mataram daripada Mas Jolang.
Panembahan Senapati meninggal pada tahun 1601 dan digantikan oleh Mas Jolang sebagai raja Mataram selanjutnya, yang bergelar Prabu Hanyakrawati. Pengangkatan tersebut membuat Pangeran Puger sakit hati dan tidak mau menghadap ke pertemuan kenegaraan. menyadari hal itu, Hanyakrawati pun mengangkat kakaknya itu sebagai adipati Demak.
Meskipun demikian, Pangeran Puger tetap saja memberontak pada tahun 1602. Perang saudara antara Mataram dan Demak pun meletus. Akhirnya, pada tahun 1605 Pangeran Puger dapat ditangkap dan dibuang ke Kudus.
Pemberontakan selanjutnya terjadi pada tahun 1607, dilakukan oleh Pangeran Jayaraga (alias Raden Mas Barthotot), adik Hanyakrawati yang menjadi bupati Ponorogo. Pemberontakan ini dipadamkan oleh adik yang lain, yaitu Pangeran Pringgalaya (alias Raden Mas Julik putra Retno Dumilah). Jayaraga tertangkap dan dibuang ke Masjid Watu di Nusakambangan.
Menyerang Surabaya
Pada tahun 1610 Hanyakrawati melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut.
Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
Kematian di Krapyak
Prabu Hanyakrawati meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak.
Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah Mas Rangsang. Namun, karena sebelumnyua pernah berjanji pada istri pertama (Ratu Tulungayu), maka Mas Wuryah pun lebih dahulu dijadikan raja bergelar Adipati Martopuro selama satu hari.
Setelah memerintah selama satu hari, Adipati Martopuro kemudian digantikan oleh Mas Rangsang, atau yang lebih terkenal dengan julukan Sultan Agung.
Catatan
Pangeran Puger kakak Prabu Hanyakrawati yang memberontak pada tahun 1602-1605 berbeda dengan Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I. Pangeran Puger Pakubuwana I adalah cicit Hanyakrawati yang hidup pada zaman selanjutnya. Ia menjadi raja Kasunanan Kartasura pada tahun 1705-1719.
Silsilah keluarga
Nama asli Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang, putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati. Antara kedua orang tua Mas Jolang tersebut masih terjalin hubungan sepupu.
Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, padahal Mas Jolang terlanjur berjanji jika kelak dirinya menjadi raja, kedudukan Adipati Anom akan diwariskan kepada putra yang dilahirkan Ratu Tulungayu.
Mas Jolang kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik).
Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martopuro. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
Peran awal
Mas Jolang pernah dikirim ayahnya untuk menghadapi pemberontakan pamannya dari pihak ibu, yaitu Adipati Pragola dari Pati tahun 1600.
Pemberontakan tersebut dipicu oleh perkawinan Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua. Pragola marah karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas Waskitajawi) terancam. Ia pun memberontak menyatakan Pati lepas dari Mataram.
Panembahan Senapati menugasi Mas Jolang untuk memadamkan pemberontakan Pragola. Namun ia tidak mampu mengalahkan kesaktian pamannya itu. Ia bahkan jatuh pingsan karena terluka menghadapi Pragola dan terpaksa dibawa mundur oleh pasukannya.
Pemberontakan Adipati Pragola akhirnya ditumpas langsung oleh Panembahan Senapati sendiri.
Pemberontakan Pangeran Puger
Pangeran Puger alias Raden Mas Kentol Kejuron adalah putra kedua Panembahan Senapati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Saat itu putra pertama Senapati yang bernama Raden Rangga Samudra (lahir dari Rara Semangkin) telah meninggal sejak lama. Hal ini membuat Pangeran Puger menjadi putra tertua dan merasa lebih berhak atas takhta Kesultanan Mataram daripada Mas Jolang.
Panembahan Senapati meninggal pada tahun 1601 dan digantikan oleh Mas Jolang sebagai raja Mataram selanjutnya, yang bergelar Prabu Hanyakrawati. Pengangkatan tersebut membuat Pangeran Puger sakit hati dan tidak mau menghadap ke pertemuan kenegaraan. menyadari hal itu, Hanyakrawati pun mengangkat kakaknya itu sebagai adipati Demak.
Meskipun demikian, Pangeran Puger tetap saja memberontak pada tahun 1602. Perang saudara antara Mataram dan Demak pun meletus. Akhirnya, pada tahun 1605 Pangeran Puger dapat ditangkap dan dibuang ke Kudus.
Pemberontakan selanjutnya terjadi pada tahun 1607, dilakukan oleh Pangeran Jayaraga (alias Raden Mas Barthotot), adik Hanyakrawati yang menjadi bupati Ponorogo. Pemberontakan ini dipadamkan oleh adik yang lain, yaitu Pangeran Pringgalaya (alias Raden Mas Julik putra Retno Dumilah). Jayaraga tertangkap dan dibuang ke Masjid Watu di Nusakambangan.
Menyerang Surabaya
Pada tahun 1610 Hanyakrawati melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut.
Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
Kematian di Krapyak
Prabu Hanyakrawati meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak.
Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah Mas Rangsang. Namun, karena sebelumnyua pernah berjanji pada istri pertama (Ratu Tulungayu), maka Mas Wuryah pun lebih dahulu dijadikan raja bergelar Adipati Martopuro selama satu hari.
Setelah memerintah selama satu hari, Adipati Martopuro kemudian digantikan oleh Mas Rangsang, atau yang lebih terkenal dengan julukan Sultan Agung.
Catatan
Pangeran Puger kakak Prabu Hanyakrawati yang memberontak pada tahun 1602-1605 berbeda dengan Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I. Pangeran Puger Pakubuwana I adalah cicit Hanyakrawati yang hidup pada zaman selanjutnya. Ia menjadi raja Kasunanan Kartasura pada tahun 1705-1719.
Unsur Elemen Dalam Astrologi Cina
Satu bagian mendasar dalam filosofi Cina adalah hubungan diantara lima unsur dasar yang terdiri dari Logam, Air, Kayu, Api dan Tanah. Tentu saja unsur-unsur tersebut bukanlah dalam makna yang biasa digunakan oleh ahli-ahli kimia atau fisika. Dalam kepercayaan Cina, unsur-unsur tersebut merupakan simbol dari kekuatan-kekuatan yang muncul dari segenap penjuru alam semesta.
Logam
Orang-orang yang lahir pada tahun yang dikuasai unsur Logam akan bersifat kaku dan keras sesuai dengan tingkat maksimal dalam shio mereka. Mereka dituntun oleh perasaan yang kuat dan akan mengejar tujuan mereka dengan tekun dan tanpa ragu. Didukung oleh tekad mereka, mereka mampu terus berusaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka sangat ambisius dan tidak tergoyahkan dalam keyakinan mereka.
Orang-orang ini tidak dapat dengan mudah diombang-ambingkan atau dipengaruhi untuk mengubah suatu jalan yang telah mereka tentukan, meskipun oleh kesulitan, kemunduran atau kegagalan. Seberapapun keteguhan dan kegigihan yang mereka miliki akibat shio mereka justru akan diperkuat oleh unsur Logam yang ada. Akan tetapi mereka kadang juga mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak lagi dapat dikendalikan atau diterima oleh jalan pikiran mereka yang teguh.
Mereka lebih suka memecahkan masalah-masalah mereka sendiri dan tidak akan menghargai campur tangan atau bantuan yang tidak mereka harapkan. Mereka menentukan tujuan, melancarkan jalan serta mewujudkan cita-cita mereka tanpa bantuan dari pihak lain. Mereka memiliki naluri yang kuat tentang keuangan dan materi, dan akan menggunakannya untuk mendukung jiwa mandiri serta selera mereka yang tinggi terhadap kemewahan, kemakmuran dan kekuasaan.
Agar dapat benar-benar efektif, bagaimanapun juga mereka harus belajar berkompromi dan tidak terlalu berpegang pada prinsip mereka. Sering kali, mereka bersikap terlalu kaku dan teguh pada pendapat sendiri sehingga dapat merusak suatu hubungan yang baik hanya karena orang lain tidak mau memenuhi atau menyesuaikan diri dengan keinginan mereka.
Air
Mereka yang lahir pada tahun yang didominasi unsur Air mempunyai kemampuan besar untuk berkomunikasi dan melaksanakan ide-ide mereka justru dengan mempengaruhi orang lain untuk mewujudkannya. Pada dasarnya, mereka dikendalikan oleh perasaan dan akan mengekspresikannya sesuai dengan tingkatan yang dimungkinkan oleh shio mereka.
Mereka berbakat dalam menentukan hal-hal yang akan menjadi penting dan mampu mengukur potensi-potensi masa depan dengan tepat. Mereka mencapai keinginannya dengan menunjukkan dan memanfaatkan bakat serta kemampuan orang lain. Meskipun demikian, pendekatan mereka tidak pernah membuat orang lain merasa telah dimanfaatkan. Sama seperti unsurnya, Air, mereka menyingkirkan penghalang terbesar dengan tenang disertai usaha yang terus-menerus. Mereka berbakat dalam membuat orang menginginkan apa yang ingin mereka capai -- dengan kata lain, mendorong daripada memaksa orang untuk melakukan suatu tindakan.
Karena naluri mereka yang peka terhadap perasaan orang dan suasana lingkungan, mereka berubah-ubah seperti unsur yang mewakilinya. Salah satu sisi negatif adalah terlalu mudah terbawa lingkungan atau cenderung untuk memilih jalan termudah. Ciri terburuk mereka adalah dapat bersikap labil dan pasif atau terlalu menggantungkan diri pada orang lain. Agar dapat berhasil, mereka harus bersikap lebih meyakinkan dan menggunakan kemampuan persuasif mereka yang besar untuk mewujudkan ide-ide mereka. Orang lain semestinya bersedia mengikuti intuisi mereka.
Kayu
Orang yang lahir dalam pengaruh unsur Kayu mempunyai moral yang tinggi dan rasa percaya diri yang besar. Minat mereka sangat luas dan beragam, dan kemampuan untuk bekerja sama akan mendukung mereka untuk melakukan hal-hal dalam skala besar. Mereka mampu membagi dan memisahkan berbagai hal dalam katagori yang benar serta sesuai dengan tuntutan kerja. Sifat maju dan murah hati memungkinkan mereka dalam melaksanakan proyek-proyek besar, perkembangan jangka panjang dan rencana atau penelitian ilmiah yang mahal, yang sebenarnya tidak dapat ditangani oleh satu orang saja.
Mereka mampu meyakinkan orang lain untuk bekerja sama dengan mereka. Mereka melakukan perluasan dengan cepat dalam berbagai bidang kapan saja terdapat kesempatan, karena mereka menginginkan perkembangan yang terus menerus dan tindakan pembaharuan. Mereka mau membagi keuntungan yang mereka dapatkan dengan orang-orang yang pantas mendapatkannya. Niat baik mereka, serta pengertian yang dalam terhadap cara berpikir dan cara kerja orang lain dapat mendukung mereka ke posisi yang sangat menguntungkan. Biasanya mereka dengan mudah mendapatkan bantuan dan biaya dari orang-orang yang membutuhkan kemampuan mereka untuk mengubah informasi dan ide menjadi keuntungan.
Kelemahan terbesar adalah, mereka cenderung menanggung terlalu banyak seorang diri hingga akhirnya kewalahan dan tidak mampu menyelesaikan apa yang telah mereka mulai. Rencana-rencana mereka dapat mengalami kegagalan atau mereka dapat berpindah dari satu proyek ke yang lain tanpa hasil yang memuaskan.
Api
Orang-orang yang lahir pada tahun yang dikendalikan unsur Api akan menunjukkan bakat-bakat kepemimpinan yang tinggi; mereka cepat mengambil keputusan dan percaya pada diri sendiri. Mereka mempunyai kemampuan yang besar, sesuai dengan shio mereka, untuk memotivasi orang lain dan mewujudkan ide-idenya, karena mereka lebih agresif dibanding orang lain yang lahir di bawah shio yang sama. Karena menggemari petualangan dan inovasi, mereka selalu siap melaksanakan ide-ide baru dan akan berusaha mendominasi orang lain dengan kreatifitas, keaslian serta kemampuannya dalam menanggung resiko.
Orang-orang api adalah para pelaku, yang memiliki tindakan dan perkataan yang dinamis. Meskipun demikian, mereka harus mampu mengendalikan emosi, karena ambisi dan niat mereka yang menggebu-gebu dapat memperbesar sifat egois mereka hingga mereka bersikap sembrono dan tidak sabaran bila keinginan mereka tidak terwujud. Makin banyak seorang api berusaha mewujudkan keinginannya dengan kekuatan atau kekerasan, makin sering pula ia menghadapi perlawanan dan kesulitan.
Mereka memiliki semua ketentuan untuk menjadi pemenang utama, asalkan mereka mau menghargai pandangan dan mendengarkan pendapat orang lain sebelum melakukan suatu tindakan. Mereka seharusnya mengembangkan sifat sebagai pendengar yang baik dan mengendalikan kecenderungan mereka untuk bersikap impulsif. Banyak dari orang-orang api yang juga cenderung untuk terlalu berani dalam mengemukakan pendapatnya.
Seperti unsurnya, Api, mereka selalu menarik orang lain menuju kehangatan dan kecerdasan mereka, dan dapat menguntungkan orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Tetapi, orang-orang api juga dapat bersikap sembrono dan menyebabkan kerusakan yang besar bila mereka gagal mengontrol dan mengarahkan energi mereka dengan tepat.
Tanah
Orang yang lahir selama tahun yang dipengaruhi unsur tanah lebih memperhatikan tujuan-tujuan praktis daripada khayalan. Mereka memiliki penalaran yang mengagumkan dan menyukai tujuan yang nyata dan pasti untuk mencurahkan kemampuan mereka. Dengan wawasan masa depan serta kemampuan untuk mengorganisasi, mereka adalah perencana dan pengelola yang efektif. Mereka akan menggunakan segala potensi yang mereka temukan secara optimal dan cenderung bijaksana dan teliti dalam masalah keuangan. Mereka cerdas dan obyektif dalam menuntun orang lain untuk mewujudkan tujuan yang telah direncanakan dengan matang. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang serius dan metodis dalam cara kerja dan dapat mengorganisasi dan menjalankan segala jenis bisnis yang menuntut pengelolaan yang tegas.
Mereka merupakan manajer -manajer yang mengagumkan dan pandai dalam memperkokoh atau membangun landasan yang kuat bagi segala jenis industri, perdagangan atau pemerintahan. Mereka adalah orang-orang yang akan mempertanggungjawabkan pendapat mereka dan memiliki alasan-alasan bagi segala hal yang mereka lakukan. Meskipun mereka mungkin bertindak dengan perlahan, namun biasanya mencapai hasil yang memuaskan dan bertahan lama.
Mereka yang termasuk dalam unsur ini mempunyai sifat konservatif. Mereka jarang membesar-besarkan penemuan, perhitungan, dan harapan-harapan mereka. Kelemahan mereka adalah minimnya imajinasi, terlalu melindungi kepentingan pribadi, dan kesukaan akan gaya hidup yang serba rutin. Meskipun demikian, mereka dapat diandalkan untuk memikul tanggung jawab mereka secara mengagumkan, dan dapat mendisiplinkan diri sendiri secara efektif.
Logam
Orang-orang yang lahir pada tahun yang dikuasai unsur Logam akan bersifat kaku dan keras sesuai dengan tingkat maksimal dalam shio mereka. Mereka dituntun oleh perasaan yang kuat dan akan mengejar tujuan mereka dengan tekun dan tanpa ragu. Didukung oleh tekad mereka, mereka mampu terus berusaha untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka sangat ambisius dan tidak tergoyahkan dalam keyakinan mereka.
Orang-orang ini tidak dapat dengan mudah diombang-ambingkan atau dipengaruhi untuk mengubah suatu jalan yang telah mereka tentukan, meskipun oleh kesulitan, kemunduran atau kegagalan. Seberapapun keteguhan dan kegigihan yang mereka miliki akibat shio mereka justru akan diperkuat oleh unsur Logam yang ada. Akan tetapi mereka kadang juga mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak lagi dapat dikendalikan atau diterima oleh jalan pikiran mereka yang teguh.
Mereka lebih suka memecahkan masalah-masalah mereka sendiri dan tidak akan menghargai campur tangan atau bantuan yang tidak mereka harapkan. Mereka menentukan tujuan, melancarkan jalan serta mewujudkan cita-cita mereka tanpa bantuan dari pihak lain. Mereka memiliki naluri yang kuat tentang keuangan dan materi, dan akan menggunakannya untuk mendukung jiwa mandiri serta selera mereka yang tinggi terhadap kemewahan, kemakmuran dan kekuasaan.
Agar dapat benar-benar efektif, bagaimanapun juga mereka harus belajar berkompromi dan tidak terlalu berpegang pada prinsip mereka. Sering kali, mereka bersikap terlalu kaku dan teguh pada pendapat sendiri sehingga dapat merusak suatu hubungan yang baik hanya karena orang lain tidak mau memenuhi atau menyesuaikan diri dengan keinginan mereka.
Air
Mereka yang lahir pada tahun yang didominasi unsur Air mempunyai kemampuan besar untuk berkomunikasi dan melaksanakan ide-ide mereka justru dengan mempengaruhi orang lain untuk mewujudkannya. Pada dasarnya, mereka dikendalikan oleh perasaan dan akan mengekspresikannya sesuai dengan tingkatan yang dimungkinkan oleh shio mereka.
Mereka berbakat dalam menentukan hal-hal yang akan menjadi penting dan mampu mengukur potensi-potensi masa depan dengan tepat. Mereka mencapai keinginannya dengan menunjukkan dan memanfaatkan bakat serta kemampuan orang lain. Meskipun demikian, pendekatan mereka tidak pernah membuat orang lain merasa telah dimanfaatkan. Sama seperti unsurnya, Air, mereka menyingkirkan penghalang terbesar dengan tenang disertai usaha yang terus-menerus. Mereka berbakat dalam membuat orang menginginkan apa yang ingin mereka capai -- dengan kata lain, mendorong daripada memaksa orang untuk melakukan suatu tindakan.
Karena naluri mereka yang peka terhadap perasaan orang dan suasana lingkungan, mereka berubah-ubah seperti unsur yang mewakilinya. Salah satu sisi negatif adalah terlalu mudah terbawa lingkungan atau cenderung untuk memilih jalan termudah. Ciri terburuk mereka adalah dapat bersikap labil dan pasif atau terlalu menggantungkan diri pada orang lain. Agar dapat berhasil, mereka harus bersikap lebih meyakinkan dan menggunakan kemampuan persuasif mereka yang besar untuk mewujudkan ide-ide mereka. Orang lain semestinya bersedia mengikuti intuisi mereka.
Kayu
Orang yang lahir dalam pengaruh unsur Kayu mempunyai moral yang tinggi dan rasa percaya diri yang besar. Minat mereka sangat luas dan beragam, dan kemampuan untuk bekerja sama akan mendukung mereka untuk melakukan hal-hal dalam skala besar. Mereka mampu membagi dan memisahkan berbagai hal dalam katagori yang benar serta sesuai dengan tuntutan kerja. Sifat maju dan murah hati memungkinkan mereka dalam melaksanakan proyek-proyek besar, perkembangan jangka panjang dan rencana atau penelitian ilmiah yang mahal, yang sebenarnya tidak dapat ditangani oleh satu orang saja.
Mereka mampu meyakinkan orang lain untuk bekerja sama dengan mereka. Mereka melakukan perluasan dengan cepat dalam berbagai bidang kapan saja terdapat kesempatan, karena mereka menginginkan perkembangan yang terus menerus dan tindakan pembaharuan. Mereka mau membagi keuntungan yang mereka dapatkan dengan orang-orang yang pantas mendapatkannya. Niat baik mereka, serta pengertian yang dalam terhadap cara berpikir dan cara kerja orang lain dapat mendukung mereka ke posisi yang sangat menguntungkan. Biasanya mereka dengan mudah mendapatkan bantuan dan biaya dari orang-orang yang membutuhkan kemampuan mereka untuk mengubah informasi dan ide menjadi keuntungan.
Kelemahan terbesar adalah, mereka cenderung menanggung terlalu banyak seorang diri hingga akhirnya kewalahan dan tidak mampu menyelesaikan apa yang telah mereka mulai. Rencana-rencana mereka dapat mengalami kegagalan atau mereka dapat berpindah dari satu proyek ke yang lain tanpa hasil yang memuaskan.
Api
Orang-orang yang lahir pada tahun yang dikendalikan unsur Api akan menunjukkan bakat-bakat kepemimpinan yang tinggi; mereka cepat mengambil keputusan dan percaya pada diri sendiri. Mereka mempunyai kemampuan yang besar, sesuai dengan shio mereka, untuk memotivasi orang lain dan mewujudkan ide-idenya, karena mereka lebih agresif dibanding orang lain yang lahir di bawah shio yang sama. Karena menggemari petualangan dan inovasi, mereka selalu siap melaksanakan ide-ide baru dan akan berusaha mendominasi orang lain dengan kreatifitas, keaslian serta kemampuannya dalam menanggung resiko.
Orang-orang api adalah para pelaku, yang memiliki tindakan dan perkataan yang dinamis. Meskipun demikian, mereka harus mampu mengendalikan emosi, karena ambisi dan niat mereka yang menggebu-gebu dapat memperbesar sifat egois mereka hingga mereka bersikap sembrono dan tidak sabaran bila keinginan mereka tidak terwujud. Makin banyak seorang api berusaha mewujudkan keinginannya dengan kekuatan atau kekerasan, makin sering pula ia menghadapi perlawanan dan kesulitan.
Mereka memiliki semua ketentuan untuk menjadi pemenang utama, asalkan mereka mau menghargai pandangan dan mendengarkan pendapat orang lain sebelum melakukan suatu tindakan. Mereka seharusnya mengembangkan sifat sebagai pendengar yang baik dan mengendalikan kecenderungan mereka untuk bersikap impulsif. Banyak dari orang-orang api yang juga cenderung untuk terlalu berani dalam mengemukakan pendapatnya.
Seperti unsurnya, Api, mereka selalu menarik orang lain menuju kehangatan dan kecerdasan mereka, dan dapat menguntungkan orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Tetapi, orang-orang api juga dapat bersikap sembrono dan menyebabkan kerusakan yang besar bila mereka gagal mengontrol dan mengarahkan energi mereka dengan tepat.
Tanah
Orang yang lahir selama tahun yang dipengaruhi unsur tanah lebih memperhatikan tujuan-tujuan praktis daripada khayalan. Mereka memiliki penalaran yang mengagumkan dan menyukai tujuan yang nyata dan pasti untuk mencurahkan kemampuan mereka. Dengan wawasan masa depan serta kemampuan untuk mengorganisasi, mereka adalah perencana dan pengelola yang efektif. Mereka akan menggunakan segala potensi yang mereka temukan secara optimal dan cenderung bijaksana dan teliti dalam masalah keuangan. Mereka cerdas dan obyektif dalam menuntun orang lain untuk mewujudkan tujuan yang telah direncanakan dengan matang. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang serius dan metodis dalam cara kerja dan dapat mengorganisasi dan menjalankan segala jenis bisnis yang menuntut pengelolaan yang tegas.
Mereka merupakan manajer -manajer yang mengagumkan dan pandai dalam memperkokoh atau membangun landasan yang kuat bagi segala jenis industri, perdagangan atau pemerintahan. Mereka adalah orang-orang yang akan mempertanggungjawabkan pendapat mereka dan memiliki alasan-alasan bagi segala hal yang mereka lakukan. Meskipun mereka mungkin bertindak dengan perlahan, namun biasanya mencapai hasil yang memuaskan dan bertahan lama.
Mereka yang termasuk dalam unsur ini mempunyai sifat konservatif. Mereka jarang membesar-besarkan penemuan, perhitungan, dan harapan-harapan mereka. Kelemahan mereka adalah minimnya imajinasi, terlalu melindungi kepentingan pribadi, dan kesukaan akan gaya hidup yang serba rutin. Meskipun demikian, mereka dapat diandalkan untuk memikul tanggung jawab mereka secara mengagumkan, dan dapat mendisiplinkan diri sendiri secara efektif.
RAHASIA ANGKA DALAM AL-QUR'AN
oleh : I'JAZ 'ADADI
Bilangan Sujud
Pada Al-Quran, akan anda temukan bahwa kata sujud yang dilakukan olch mereka yang berakal disebutkan sebanyak 34 kali. Jumlah tersebut sama dengan jumlah sujud dalam shalat sehari¬hari yang dilahukan pada lima waktu sebanyak 17 rakaat. Pada setiap rakaat dilakukan dua kali sujud sehingga jumlahnya menjadi 34 kali sujud sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: 'Sujud-lah kamu kepada Adam' .... (2:34)
Ayat ini merupakan ayat ketiga puluh empat pada surat Al-Baqarah, yaitu surat dalam mushaf yang pertama yang menyebutkan masalah sujud yang jumlahnya sama dengan jumlah sujud keseharian.
.... kemudian Kami katakan kepada para Malaikat; "Ber¬sujud-lah kamu kepada Adam!" .... (Al-Araf: 11)
Dan ingatlah ketika Kami katakan kepada Malaikat: "Ber¬sujud-lah kamu kepada Adam!" .... (AI-Isra: 61)
an (ingatlah) ketika kami katakan kepada para Malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!" ... (Al-Kahfi: 50)
Dan (ingatlah) ketika Kami katakan kepada para malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!" . . . (Thaha: 116)
Wahai orang-orang yang beriman, ruku' dan ber-sujud-lah kamu serta beribadahlah kamu kepada Tuhanmu . . . (AI-Hajj : 77 )
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujud-lah kamu sekalian kepada Yang Mahapenyayang." Mereka menjawab: "Siapakah Yang Maha Penyayang itu?" . . . (Al-Furqan: 60)
Janganlah kalian ber-sujud kepada matahari maupun bu¬lan, dan ber-sujud-lah kamu semua kepada Allah, Zat Yang telah menciptakan keduanya (matahari dan bulan) .... (Fushshilat: 47)
Maka ber-sujud-lah kalian kepada Allah dan beribadahlah kalian (kepada-Nya). (Al-Najm: 62)
Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama-sama orang yang ruku'. (Ali Imran: 43)
Maka sujud-lah para Malaikat itu semuanya bersama-sama. (Al-Hijr: 30)
12. Maka ber-sujud-lah para Malaikat itu semuanya bersama¬sama. (Shad: 73)
.... Maka semua para Malaikat itu ber- sujud, kecuali Iblis; ia enggan ... (Al-Baqarah: 24)
.... Kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). (An-Nisa: 102)
.... Lalu Kami katakan kepada malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!", maka mereka ber-sujud, kecuali iblis .... (Al-A'raf: 11).
.... Maka mereka ber- sujud, kecuali iblis ....(Al-Isra: 61)
.... Maka mereka ber-sujud, kecuali Iblis. Dan dia adalah dari golongan jin .... (AI-Kahfi: 61).
.... Maka mereka ber-sujud, kecuali iblis, ia enggan ... (Taha: 116).
Berkata iblis: "Aku sekali-kali tidak akan ber-sujud kepada manusia yang Engkau telah ciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (Al¬ Hijr: 33).
..... Kecuali iblis, ia berkata: 'Apakah aku akan ber¬-sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?". (Al-Isra: 61).
Allah berfirman: 'Apakah yang menghalangimu untuk ber¬- sujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" .... (AI-A'raf: i2).
Allah berfirman: "Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-cipta-kan dengan kedua tangan-Ku?".... (Shad: 75).
Janganlah kalian sujud kepada matahari maupun bulan ( Fushilat: 3 7 )
.... Mereka berkata: "Dan siapakah Yang Maka Penyayang itu? Apakah kami harus ber- sujud kepada yang kamu perintahkan kepada kami?" .... (Al-Furqan: 60).
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi .... (AI-Ra'd: 15).
Dan hanya kepada Allah-lah sujud segala apa yang ada di langit dan bumi .... (Al-Nahl: 49).
Apakah kamu tlada mengetahui, bahwa kepada Allah ber¬-sujud segala apa yang ada di langit, bumi .... (Al-Haj: 18).
Agar mereka tidak ber- sujud (menyembah) Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi .... (Al-Naml: 25).
.... Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga ber- sujud (sembahyang). (Ali Imran: 113).
Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka ber¬tashbih memuji-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka ber¬- sujud. (Al-A'raf: 206).
Aku mendapati dia dan kaumnya ber- sujud kepada matahari, selain Allah .... (Al-Naml: 24).
Dan jika dibacakan Al-Quran kepada mereka, mereka tidak ber- sujud. (Al-Insyihaq: 21).
Dan pada bagian dari malam, maka sujud-lah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. (AI-Insan: 26).
Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujud-lah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). (AI-Alaq: 19).
Dalam Al-Quran tidak ada kata sujud yang dihubungkan dengan makhluk yang tidak berakal, kecuali satu ayat saja, yaitu dalam firman Allah SWT:
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-keduanya sujud kepada-Nya. (Al-Rahman: 6).
Selain dalam ayat tersebut, 34 kata kerja (fi'il) sujud semuanya dihubungkan dengan makhluk berakal
Bilangan Sujud
Pada Al-Quran, akan anda temukan bahwa kata sujud yang dilakukan olch mereka yang berakal disebutkan sebanyak 34 kali. Jumlah tersebut sama dengan jumlah sujud dalam shalat sehari¬hari yang dilahukan pada lima waktu sebanyak 17 rakaat. Pada setiap rakaat dilakukan dua kali sujud sehingga jumlahnya menjadi 34 kali sujud sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: 'Sujud-lah kamu kepada Adam' .... (2:34)
Ayat ini merupakan ayat ketiga puluh empat pada surat Al-Baqarah, yaitu surat dalam mushaf yang pertama yang menyebutkan masalah sujud yang jumlahnya sama dengan jumlah sujud keseharian.
.... kemudian Kami katakan kepada para Malaikat; "Ber¬sujud-lah kamu kepada Adam!" .... (Al-Araf: 11)
Dan ingatlah ketika Kami katakan kepada Malaikat: "Ber¬sujud-lah kamu kepada Adam!" .... (AI-Isra: 61)
an (ingatlah) ketika kami katakan kepada para Malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!" ... (Al-Kahfi: 50)
Dan (ingatlah) ketika Kami katakan kepada para malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!" . . . (Thaha: 116)
Wahai orang-orang yang beriman, ruku' dan ber-sujud-lah kamu serta beribadahlah kamu kepada Tuhanmu . . . (AI-Hajj : 77 )
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujud-lah kamu sekalian kepada Yang Mahapenyayang." Mereka menjawab: "Siapakah Yang Maha Penyayang itu?" . . . (Al-Furqan: 60)
Janganlah kalian ber-sujud kepada matahari maupun bu¬lan, dan ber-sujud-lah kamu semua kepada Allah, Zat Yang telah menciptakan keduanya (matahari dan bulan) .... (Fushshilat: 47)
Maka ber-sujud-lah kalian kepada Allah dan beribadahlah kalian (kepada-Nya). (Al-Najm: 62)
Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama-sama orang yang ruku'. (Ali Imran: 43)
Maka sujud-lah para Malaikat itu semuanya bersama-sama. (Al-Hijr: 30)
12. Maka ber-sujud-lah para Malaikat itu semuanya bersama¬sama. (Shad: 73)
.... Maka semua para Malaikat itu ber- sujud, kecuali Iblis; ia enggan ... (Al-Baqarah: 24)
.... Kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). (An-Nisa: 102)
.... Lalu Kami katakan kepada malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!", maka mereka ber-sujud, kecuali iblis .... (Al-A'raf: 11).
.... Maka mereka ber- sujud, kecuali iblis ....(Al-Isra: 61)
.... Maka mereka ber-sujud, kecuali Iblis. Dan dia adalah dari golongan jin .... (AI-Kahfi: 61).
.... Maka mereka ber-sujud, kecuali iblis, ia enggan ... (Taha: 116).
Berkata iblis: "Aku sekali-kali tidak akan ber-sujud kepada manusia yang Engkau telah ciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (Al¬ Hijr: 33).
..... Kecuali iblis, ia berkata: 'Apakah aku akan ber¬-sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?". (Al-Isra: 61).
Allah berfirman: 'Apakah yang menghalangimu untuk ber¬- sujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" .... (AI-A'raf: i2).
Allah berfirman: "Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-cipta-kan dengan kedua tangan-Ku?".... (Shad: 75).
Janganlah kalian sujud kepada matahari maupun bulan ( Fushilat: 3 7 )
.... Mereka berkata: "Dan siapakah Yang Maka Penyayang itu? Apakah kami harus ber- sujud kepada yang kamu perintahkan kepada kami?" .... (Al-Furqan: 60).
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi .... (AI-Ra'd: 15).
Dan hanya kepada Allah-lah sujud segala apa yang ada di langit dan bumi .... (Al-Nahl: 49).
Apakah kamu tlada mengetahui, bahwa kepada Allah ber¬-sujud segala apa yang ada di langit, bumi .... (Al-Haj: 18).
Agar mereka tidak ber- sujud (menyembah) Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi .... (Al-Naml: 25).
.... Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga ber- sujud (sembahyang). (Ali Imran: 113).
Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka ber¬tashbih memuji-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka ber¬- sujud. (Al-A'raf: 206).
Aku mendapati dia dan kaumnya ber- sujud kepada matahari, selain Allah .... (Al-Naml: 24).
Dan jika dibacakan Al-Quran kepada mereka, mereka tidak ber- sujud. (Al-Insyihaq: 21).
Dan pada bagian dari malam, maka sujud-lah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. (AI-Insan: 26).
Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujud-lah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). (AI-Alaq: 19).
Dalam Al-Quran tidak ada kata sujud yang dihubungkan dengan makhluk yang tidak berakal, kecuali satu ayat saja, yaitu dalam firman Allah SWT:
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-keduanya sujud kepada-Nya. (Al-Rahman: 6).
Selain dalam ayat tersebut, 34 kata kerja (fi'il) sujud semuanya dihubungkan dengan makhluk berakal
Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (aksara Jawa: ) yang ditulis oleh carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III ini merupakan karya sastra sejarah dalam berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa. Akan tetapi siapapun yang kesengsem memahami Babad Tanah Jawi ini harus bekerja keras menafsirkan setiap data yang dituliskan. Maklum seperti babad lainnya ,selain bahasanya yang jawa kuno ,perihal mitosnya cukup banyak
Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.
Tidak dapat dipungkiri buku ini menjadi salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Banyak versi
Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.
Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.
Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.
Sumber : Wikipedia
Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.
Tidak dapat dipungkiri buku ini menjadi salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Banyak versi
Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.
Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.
Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.
Sumber : Wikipedia
Airlangga
Patung Airlangga yang didewakan berupa Dewa Wisnu mengendarai Garuda, ditemukan di desa Belahan, koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.
Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.
Asal-usul
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Masa pelarian
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.[2]
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa.
Masa peperangan
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Masa pembangunan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pembelahan kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[rujukan?] sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Akhir hayat
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Kahuripan, Daha atau Panjalu
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.
Sumber : Wikipedia
Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.
Asal-usul
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Masa pelarian
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.[2]
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa.
Masa peperangan
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Masa pembangunan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pembelahan kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[rujukan?] sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Akhir hayat
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Kahuripan, Daha atau Panjalu
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.
Sumber : Wikipedia
Wangsa Syailendra
Śailendra adalah nama wangsa atau dinasti yang sebagian besar raja-rajanya menganut agama Buddha Mahāyāna yang berkuasa di Mdaŋ Kerajaan Mataram Kuno sejak tahun 752. Wangsa ini hidup berdampingan dengan Wangsa Sañjaya yang berkuasa sejak tahun 732, di daerah Jawa Tengah bagian selatan.
Asal-usul
Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam Prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra), Prasasti Sojomerto dari tahun 725 Masehi (selendranamah)dan Prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam Prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan Prasasti Nālanda.
Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarahwan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Śailendra berasal dari India, dari Funan, dan penduduk asli dari Nusantara.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiyaŋ. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hiyaŋ dengan bala tentaranya. Pada waktu itu Śrīwijaya pusatnya ada di Semenanjung Tanah Melayu.
Pernyataan yang hampir senada dengan Moens dikemukakan oleh Slametmulyana. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar dapunta pada Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada Prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena asal bahasa Melayu Kuno itu dari Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah dari Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa Dapunta Selendra adalah salah seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang menyingkir ke pantai utara Jawa di sekitar Pekalongan.
Teori Funan
Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Mdaŋ (Matarām) pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra.
Teori Jawa
Pendapat bahwa keluarga Śailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiva. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sañjaya menyuruh anaknya R. Panaraban atau R. Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.
Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.
Nama “Dapunta Selendra” jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit “Śailendra” karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.
Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T'ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Era Mataram Kuna
Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa. Pada awal era Mataram Kuna, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuna dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Smaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Smaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.
Daftar raja-raja
Pendapat umum menyebutkan raja-raja Wangsa Sailendra adalah sebagai berikut,
Bhanu (752-775), raja pertama dan pendiri Wangsa Syailendra
Wisnu (775-782), Candi Borobudur mulai dibangun
Indra (782-812), menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (Kamboja), serta mendudukinya selama 12 tahun
Samaratungga (812-833), Candi Borobudur selesai dibangun
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan, pangeran Wangsa Sanjaya
Balaputradewa (833-850), melarikan diri ke Sriwijaya setelah dikalahkan Rakai Pikatan
Akan tetapi, beberapa sejarawan tampaknya menolak urutan ini. Misalnya, Slamet Muljana berpendapat bahwa anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Porbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra.
Runtuhnya Wangsa Syailendra
Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya.
Sumber : Wikipedia
Asal-usul
Di Indonesia nama Śailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Śailendragurubhis; Śailendrawańśatilakasya; Śailendrarajagurubhis). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelurak dari tahun 782 Masehi (Śailendrawańśatilakena), dalam Prasasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharmmatuńgadewasyaśailendra), Prasasti Sojomerto dari tahun 725 Masehi (selendranamah)dan Prasasti Kayumwuńan dari tahun 824 Masehi (śailendrawańśatilaka). Di luar Indonesia nama ini ditemukan dalam Prasasti Ligor dari tahun 775 Masehi dan Prasasti Nālanda.
Mengenai asal usul keluarga Śailendra banyak dipersoalkan oleh beberapa sarjana. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh sejarahwan dan arkeologis dari berbagai negara. Ada yang mengatakan bahawa keluarga Śailendra berasal dari India, dari Funan, dan penduduk asli dari Nusantara.
Teori India
Majumdar beranggapan bahwa keluarga Śailendra di Nusantara, baik di Śrīwijaya (Sumatera) maupun di Mdaŋ (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga Śailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiyaŋ. Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hiyaŋ dengan bala tentaranya. Pada waktu itu Śrīwijaya pusatnya ada di Semenanjung Tanah Melayu.
Pernyataan yang hampir senada dengan Moens dikemukakan oleh Slametmulyana. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar dapunta pada Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada Prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyaŋ. Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena asal bahasa Melayu Kuno itu dari Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah dari Kadātuan Śrīwijaya pada sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa Dapunta Selendra adalah salah seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang menyingkir ke pantai utara Jawa di sekitar Pekalongan.
Teori Funan
Cœdès lebih condong kepada anggapan bahwa Śailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Mdaŋ (Matarām) pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga Śailendra.
Teori Jawa
Pendapat bahwa keluarga Śailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiva. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sañjaya menyuruh anaknya R. Panaraban atau R. Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.
Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla) (da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ.
Nama “Dapunta Selendra” jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit “Śailendra” karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya.
Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T'ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717 Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
Era Mataram Kuna
Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa. Pada awal era Mataram Kuna, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah. Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada di bawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah.
Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih. Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuna dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara.
Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Smaratungga (812-833). Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Smaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.
Daftar raja-raja
Pendapat umum menyebutkan raja-raja Wangsa Sailendra adalah sebagai berikut,
Bhanu (752-775), raja pertama dan pendiri Wangsa Syailendra
Wisnu (775-782), Candi Borobudur mulai dibangun
Indra (782-812), menyerang dan mengalahkan Kerajaan Chenla (Kamboja), serta mendudukinya selama 12 tahun
Samaratungga (812-833), Candi Borobudur selesai dibangun
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan, pangeran Wangsa Sanjaya
Balaputradewa (833-850), melarikan diri ke Sriwijaya setelah dikalahkan Rakai Pikatan
Akan tetapi, beberapa sejarawan tampaknya menolak urutan ini. Misalnya, Slamet Muljana berpendapat bahwa anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja adalah Rakai Panangkaran. Sementara itu, Porbatjaraka berpendapat bahwa wangsa Sanjaya itu tidak pernah ada. Dengan kata lain, Sanjaya juga merupakan anggota Wangsa Sailendra.
Runtuhnya Wangsa Syailendra
Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya.
Sumber : Wikipedia
Sabtu, 24 April 2010
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Mengenai istilah Jawa Kuno
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.
Tradisi penurunan
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.
Tinjauan umum
Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Puisi Jawa lama
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa
1.Candakarana
2.Sang Hyang Kamahayanikan
3.Brahmandapurana
4.Agastyaparwa
5.Uttarakanda
6.Adiparwa
7.Sabhaparwa
8.Wirataparwa, 996
9.Udyogaparwa
10.Bhismaparwa
11.Asramawasanaparwa
12.Mosalaparwa
13.Prasthanikaparwa
14.Swargarohanaparwa
15.Kunjarakarna
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)
1.Kakawin Tertua Jawa, 856
2.Kakawin Ramayana ~ 870
3.Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
4.Kakawin Kresnayana
5.Kakawin Sumanasantaka
6.Kakawin Smaradahana
7.Kakawin Bhomakawya
8.Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
9.Kakawin Hariwangsa
10.Kakawin Gatotkacasraya
11.Kakawin Wrettasañcaya
12.Kakawin Wrettayana
13.Kakawin Brahmandapurana
14.Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
15.Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
16.Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
17.Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
18.Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
19.Kakawin Parthayajna
20.Kakawin Nitisastra
21.Kakawin Nirarthaprakreta
22.Kakawin Dharmasunya
23.Kakawin Harisraya
24.Kakawin Banawa Sekar Tanakung
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Mengenai istilah Jawa Kuno
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.
Tradisi penurunan
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.
Tinjauan umum
Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Puisi Jawa lama
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa
1.Candakarana
2.Sang Hyang Kamahayanikan
3.Brahmandapurana
4.Agastyaparwa
5.Uttarakanda
6.Adiparwa
7.Sabhaparwa
8.Wirataparwa, 996
9.Udyogaparwa
10.Bhismaparwa
11.Asramawasanaparwa
12.Mosalaparwa
13.Prasthanikaparwa
14.Swargarohanaparwa
15.Kunjarakarna
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin)
1.Kakawin Tertua Jawa, 856
2.Kakawin Ramayana ~ 870
3.Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
4.Kakawin Kresnayana
5.Kakawin Sumanasantaka
6.Kakawin Smaradahana
7.Kakawin Bhomakawya
8.Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
9.Kakawin Hariwangsa
10.Kakawin Gatotkacasraya
11.Kakawin Wrettasañcaya
12.Kakawin Wrettayana
13.Kakawin Brahmandapurana
14.Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dusun"
15.Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
16.Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
17.Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
18.Kakawin Siwaratrikalpa, Kakawin Lubdhaka
19.Kakawin Parthayajna
20.Kakawin Nitisastra
21.Kakawin Nirarthaprakreta
22.Kakawin Dharmasunya
23.Kakawin Harisraya
24.Kakawin Banawa Sekar Tanakung
Rabu, 21 April 2010
Wayang
Wayang Bali,Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan [animisme] berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk [arca] atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.
Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa.
Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula.
Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".
Jenis-jenis wayang ;
Wayang Kulit
1.Wayang Purwa
2.Wayang Madya
3.Wayang Gedog
4.Wayang Dupara
5.Wayang Wahyu
6.Wayang Suluh
7.Wayang Kancil
8.Wayang Calonarang
9.Wayang Krucil
10.Wayang Ajen
11.Wayang Sasak
12.Wayang Sadat
13.Wayang Parwa
Wayang Kayu
1.Wayang Golek / Wayang Thengul (Bojonegoro)
2.Wayang Menak
3.Wayang Papak / Wayang Cepak
4.Wayang Klithik
Wayang Beber
Wayang Orang
Wayang Suket
Wayang Gung
Wayang Timplong
Wayang Arya
Wayang Potehi
Wayang Gambuh
Wayang Parwa
Wayang Cupak
Jenis-jenis wayang kulit menurut asal daerah atau suku
Wayang juga ada yang menggunakan bahasa Melayu Lokal seperti bahasa Betawi, bahasa Palembang dan bahasa Banjar.
Wayang Jawa Yogyakarta
Wayang Jawa Surakarta
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Bali
Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)
Wayang Palembang (Sumatera Selatan)
Wayang Betawi (Jakarta)
Wayang Cirebon (Jawa Barat)
Wayang Madura (sudah punah)
Wayang Siam
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.
Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa.
Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula.
Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".
Jenis-jenis wayang ;
Wayang Kulit
1.Wayang Purwa
2.Wayang Madya
3.Wayang Gedog
4.Wayang Dupara
5.Wayang Wahyu
6.Wayang Suluh
7.Wayang Kancil
8.Wayang Calonarang
9.Wayang Krucil
10.Wayang Ajen
11.Wayang Sasak
12.Wayang Sadat
13.Wayang Parwa
Wayang Kayu
1.Wayang Golek / Wayang Thengul (Bojonegoro)
2.Wayang Menak
3.Wayang Papak / Wayang Cepak
4.Wayang Klithik
Wayang Beber
Wayang Orang
Wayang Suket
Wayang Gung
Wayang Timplong
Wayang Arya
Wayang Potehi
Wayang Gambuh
Wayang Parwa
Wayang Cupak
Jenis-jenis wayang kulit menurut asal daerah atau suku
Wayang juga ada yang menggunakan bahasa Melayu Lokal seperti bahasa Betawi, bahasa Palembang dan bahasa Banjar.
Wayang Jawa Yogyakarta
Wayang Jawa Surakarta
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Bali
Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)
Wayang Palembang (Sumatera Selatan)
Wayang Betawi (Jakarta)
Wayang Cirebon (Jawa Barat)
Wayang Madura (sudah punah)
Wayang Siam
DEWA WISNU
Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.
Etimologi
Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu berasal dari Bahasa Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti "menempati", "memasuki", juga berarti "mengisi" — menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira diartikan: "Sesuatu yang menempati segalanya". Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh ("sesuatu yang memasuki segalanya"), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu).
Adi Shankara dalam pendapatnya tentang Wisnu Sahasranama, mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan mengartikannya: "yang hadir dimana pun" ("sebagaimana Ia menempati segalanya, vevesti, maka Ia disebut Visnu"). Adi Shankara menyatakan: "kekuatan dari Yang Mahakuasa telah memasuki seluruh alam semesta." Akar kata Viś berarti 'masuk ke dalam.'
Mengenai akhiran –nu, Manfred Mayrhofer berpendapat bahwa bunyinya mirip dengan kata jiṣṇu' ("kejayaan"). Mayrhofer juga berpendapat kata tersebut merujuk pada sebuah kata Indo-Iranian *višnu, dan kini telah digantikan dengan kata rašnu dalam kepercayaan Zoroaster di Iran.
Akar kata viś juga dihubungkan dengan viśva ("segala"). Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata "Wisnu" misalnya: vi-ṣṇu ("mematahkan punggung"), vi-ṣ-ṇu ("memandang ke segala penjuru") dan viṣ-ṇu ("aktif"). Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda terjadi karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.
Wisnu dalam susastra Hindu
Susastra Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara dewa-dewi lainnya. Dalam kitab Weda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul bersama dengan Indra, yang membantunya membunuh Wretra, dan bersamanya ia meminum Soma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut sebagai saudara. Dalam Weda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai Tri-wikrama atau Uru-krama untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga.
Dalam kitab Purana, Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihasa (wiracarita Hindu). Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.
Dalam kitab Bhagawadgita, Wisnu menjabarkan ajaran agama dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna, kusir kereta Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan wujud rohaninya sebagai Wisnu, kemudian ia menampakkan wujud semestanya kepada Arjuna.
Wujud Dewa Wisnu
Dalam Purana, dan selayaknya penggambaran umum, Dewa Wisnu dilukiskan sebagai dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan empat, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Wisnu adalah senjata cakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.
Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:
Jñāna: mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
Aishvarya: maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
Shakti: memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
Bala: maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
Virya: kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
Tèjas: memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk
Beberapa sarjana Waisnawa meyakini bahwa masih banyak kekuatan Wisnu yang lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang paling penting untuk diketahui hanyalah enam.
Penggambaran
Dalam Purana, Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada dimana-mana. Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan, dan arca. Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut:
Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit. Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu.
Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi Laksmi, pasangannya.
Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga
Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan dan kesakitan.
Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:
Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama "Panchajanya", dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan ether.
Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama "Sudarshana", dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
Tiga wujud
Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India), Wisnu disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud tersebut yaitu: Kāraṇodakaśāyi Vishnu atau Mahā Vishnu; Garbhodakaśāyī Vishnu; dan Kṣirodakasāyī Vishnu. Menurut Bhagawadgita, ketiga aspek tersebut disebut "Puruṣa Avatāra", yaitu penjelmaan Wisnu yang mempengaruhi penciptaan dan peleburan alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu yang berbaring dalam "lautan penyebab" dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.
Lima wujud
Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu:
Para. Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya — Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila Di sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
Vyuha. Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
Vibhava. Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
Antaryami. Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati makhluk hidup.
Arcavatara. Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.
Awatara
Dalam Purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia. Awatara yang umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatār.
Sepuluh Awatara Wisnu:
Matsya (Sang ikan)
Kurma (Sang kura-kura)
Waraha (Sang babihutan)
Narasimha (Sang manusia-singa)
Wamana (Sang orang cebol)
Parasurama (Sang Brāhmana-Kshatriya)
Rama (Sang pangeran)
Kresna (Sang pengembala)
Buddha (Sang pemuka agama)
Kalki (Sang penghancur)
Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma pada penghujung zaman Kali Yuga.
Hubungan dengan Dewa lain
Dewa Wisnu memiliki hubungan dengan Dewi Lakshmi, Dewi kemakmuran yang merupakan istrinya. Selain dengan Indra, Wisnu juga memiliki hubungan dekat dengan Brahmā dan Siwa sebagai konsep Trimurti. Kendaraan Dewa Wisnu adalah Garuda, Dewa burung. Dalam penggambaran umum, Dewa Wisnu sering dilukiskan duduk di atas bahu burung Garuda tersebut.
Tradisi dan pemujaan
Dalam tradisi Dvaita Waisnawa, Wisnu merupakan Makhluk yang Maha Kuasa. Dalam filsafat Advaita Vedanta, Wisnu dipandang sebagai salah satu dari manifestasi Brahman. Dalam segala tradisi Sanatana Dharma, Wisnu dipuja secara langsung maupun tidak langsung, yaitu memuja awatara-nya.
Aliran Waisnawa memuja Wisnu secara khusus. Dalam sekte Waisnawa di India, Wisnu dipuja sebagai roh yang utama dan dibedakan dengan Dewa-Dewi lainnya, yang disejajarkan seperti malaikat. Waisnawa menganut monotheisme terhadap Wisnu, atau Wisnu merupakan sesuatu yang tertinggi, tidak setara dengan Dewa.
Dalam tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu memanifestasikan dirinya menjadi Awatara, dan di India, masing-masing awatara tersebut dipuja secara khusus.
Tidak diketahui kapan sebenarnya pemujaan terhadap Wisnu dimulai. Dalam Veda dan informasi tentang agama Hindu lainnya, Wisnu diasosiasikan dengan Indra. Shukavak N. Dasa, seorang sarjana Waisnawa, berkomentar bahwa pemujaan dan lagu pujia-pujian dalam Veda ditujukan bukan untuk Dewa-Dewi tertentu, melainkan untuk Sri Wisnu — Yang Maha Kuasa — yang merupakan jiwa tertinggi dari para Dewa.[1]
Di Bali, Dewa Wisnu dipuja di sebuah pura khusus untuk beliau, bernama Pura Puseh, yakni pura yang harus ada di setiap desa dan kecamatan. Di sana ia dipuja sebagai salah satu manifestasi Sang Hyang Widhi yang memberi kesuburan dan memelihara alam semesta.
Menurut konsep Nawa Dewata dalam Agama Hindu Dharma di Bali, Dewa Wisnu menempati arah utara dalam mata angin. Warnanya hitam, aksara sucinya “U” (ung).
Versi pewayangan Jawa
Dalam pementasan wayang Jawa, Wisnu sering disebut dengan gelar Sanghyang Batara Wisnu. Menurut versi ini, Wisnu adalah putra kelima Batara Guru dan Batari Uma. Ia merupakan putra yang paling sakti di antara semua putra Batara Guru.
Menurut mitologi Jawa, Wisnu pertama kali turun ke dunia menjelma menjadi raja bergelar Srimaharaja Suman. Negaranya bernama Medangpura, terletak di wilayah Jawa Tengah sekarang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sri Maharaja Matsyapati, merajai semua jenis binatang air.
Selain itu Wisnu juga menitis atau terlahir sebagai manusia. Titisan Wisnu menurut pewayangan antara lain,
1.Srimaharaja Kanwa.
2.Resi Wisnungkara
3.Prabu Arjunasasrabahu
4.Sri Ramawijaya
5.Sri Batara Kresna
6.Prabu Jayabaya
7.Prabu Anglingdarma
Sumber : Wikipedia
Etimologi
Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata Viṣṇu berasal dari Bahasa Sanskerta, akar katanya viś, (yang berarti "menempati", "memasuki", juga berarti "mengisi" — menurut Regweda), dan mendapat akhiran nu. Kata Wisnu kira-kira diartikan: "Sesuatu yang menempati segalanya". Pengamat Weda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai vishnu vishateh ("sesuatu yang memasuki segalanya"), dan yad vishito bhavati tad vishnurbhavati (yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu).
Adi Shankara dalam pendapatnya tentang Wisnu Sahasranama, mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan mengartikannya: "yang hadir dimana pun" ("sebagaimana Ia menempati segalanya, vevesti, maka Ia disebut Visnu"). Adi Shankara menyatakan: "kekuatan dari Yang Mahakuasa telah memasuki seluruh alam semesta." Akar kata Viś berarti 'masuk ke dalam.'
Mengenai akhiran –nu, Manfred Mayrhofer berpendapat bahwa bunyinya mirip dengan kata jiṣṇu' ("kejayaan"). Mayrhofer juga berpendapat kata tersebut merujuk pada sebuah kata Indo-Iranian *višnu, dan kini telah digantikan dengan kata rašnu dalam kepercayaan Zoroaster di Iran.
Akar kata viś juga dihubungkan dengan viśva ("segala"). Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata "Wisnu" misalnya: vi-ṣṇu ("mematahkan punggung"), vi-ṣ-ṇu ("memandang ke segala penjuru") dan viṣ-ṇu ("aktif"). Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda terjadi karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.
Wisnu dalam susastra Hindu
Susastra Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara dewa-dewi lainnya. Dalam kitab Weda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul bersama dengan Indra, yang membantunya membunuh Wretra, dan bersamanya ia meminum Soma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut sebagai saudara. Dalam Weda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai Tri-wikrama atau Uru-krama untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga.
Dalam kitab Purana, Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihasa (wiracarita Hindu). Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.
Dalam kitab Bhagawadgita, Wisnu menjabarkan ajaran agama dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna, kusir kereta Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan wujud rohaninya sebagai Wisnu, kemudian ia menampakkan wujud semestanya kepada Arjuna.
Wujud Dewa Wisnu
Dalam Purana, dan selayaknya penggambaran umum, Dewa Wisnu dilukiskan sebagai dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan empat, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Wisnu adalah senjata cakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.
Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:
Jñāna: mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
Aishvarya: maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
Shakti: memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
Bala: maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
Virya: kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
Tèjas: memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk
Beberapa sarjana Waisnawa meyakini bahwa masih banyak kekuatan Wisnu yang lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang paling penting untuk diketahui hanyalah enam.
Penggambaran
Dalam Purana, Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada dimana-mana. Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan, dan arca. Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut:
Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit. Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
Di dadanya terdapat simbol kaki Resi Brigu.
Juga terdapat simbol srivatsa di dadanya, simbol Dewi Laksmi, pasangannya.
Pada lehernya, terdapat permata Kaustubha dan kalung dari rangkaian bunga
Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan dan kesakitan.
Beristirahat dengan ranjang Ananta Sesa, ular suci.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:
Terompet kulit kerang atau Shankhya, bernama "Panchajanya", dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan ether.
Cakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama "Sudarshana", dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
Gada yang bernama Komodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
Tiga wujud
Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India), Wisnu disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud tersebut yaitu: Kāraṇodakaśāyi Vishnu atau Mahā Vishnu; Garbhodakaśāyī Vishnu; dan Kṣirodakasāyī Vishnu. Menurut Bhagawadgita, ketiga aspek tersebut disebut "Puruṣa Avatāra", yaitu penjelmaan Wisnu yang mempengaruhi penciptaan dan peleburan alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu yang berbaring dalam "lautan penyebab" dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.
Lima wujud
Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu:
Para. Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya — Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila Di sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
Vyuha. Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
Vibhava. Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
Antaryami. Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati makhluk hidup.
Arcavatara. Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.
Awatara
Dalam Purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia. Awatara yang umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatār.
Sepuluh Awatara Wisnu:
Matsya (Sang ikan)
Kurma (Sang kura-kura)
Waraha (Sang babihutan)
Narasimha (Sang manusia-singa)
Wamana (Sang orang cebol)
Parasurama (Sang Brāhmana-Kshatriya)
Rama (Sang pangeran)
Kresna (Sang pengembala)
Buddha (Sang pemuka agama)
Kalki (Sang penghancur)
Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma pada penghujung zaman Kali Yuga.
Hubungan dengan Dewa lain
Dewa Wisnu memiliki hubungan dengan Dewi Lakshmi, Dewi kemakmuran yang merupakan istrinya. Selain dengan Indra, Wisnu juga memiliki hubungan dekat dengan Brahmā dan Siwa sebagai konsep Trimurti. Kendaraan Dewa Wisnu adalah Garuda, Dewa burung. Dalam penggambaran umum, Dewa Wisnu sering dilukiskan duduk di atas bahu burung Garuda tersebut.
Tradisi dan pemujaan
Dalam tradisi Dvaita Waisnawa, Wisnu merupakan Makhluk yang Maha Kuasa. Dalam filsafat Advaita Vedanta, Wisnu dipandang sebagai salah satu dari manifestasi Brahman. Dalam segala tradisi Sanatana Dharma, Wisnu dipuja secara langsung maupun tidak langsung, yaitu memuja awatara-nya.
Aliran Waisnawa memuja Wisnu secara khusus. Dalam sekte Waisnawa di India, Wisnu dipuja sebagai roh yang utama dan dibedakan dengan Dewa-Dewi lainnya, yang disejajarkan seperti malaikat. Waisnawa menganut monotheisme terhadap Wisnu, atau Wisnu merupakan sesuatu yang tertinggi, tidak setara dengan Dewa.
Dalam tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu memanifestasikan dirinya menjadi Awatara, dan di India, masing-masing awatara tersebut dipuja secara khusus.
Tidak diketahui kapan sebenarnya pemujaan terhadap Wisnu dimulai. Dalam Veda dan informasi tentang agama Hindu lainnya, Wisnu diasosiasikan dengan Indra. Shukavak N. Dasa, seorang sarjana Waisnawa, berkomentar bahwa pemujaan dan lagu pujia-pujian dalam Veda ditujukan bukan untuk Dewa-Dewi tertentu, melainkan untuk Sri Wisnu — Yang Maha Kuasa — yang merupakan jiwa tertinggi dari para Dewa.[1]
Di Bali, Dewa Wisnu dipuja di sebuah pura khusus untuk beliau, bernama Pura Puseh, yakni pura yang harus ada di setiap desa dan kecamatan. Di sana ia dipuja sebagai salah satu manifestasi Sang Hyang Widhi yang memberi kesuburan dan memelihara alam semesta.
Menurut konsep Nawa Dewata dalam Agama Hindu Dharma di Bali, Dewa Wisnu menempati arah utara dalam mata angin. Warnanya hitam, aksara sucinya “U” (ung).
Versi pewayangan Jawa
Dalam pementasan wayang Jawa, Wisnu sering disebut dengan gelar Sanghyang Batara Wisnu. Menurut versi ini, Wisnu adalah putra kelima Batara Guru dan Batari Uma. Ia merupakan putra yang paling sakti di antara semua putra Batara Guru.
Menurut mitologi Jawa, Wisnu pertama kali turun ke dunia menjelma menjadi raja bergelar Srimaharaja Suman. Negaranya bernama Medangpura, terletak di wilayah Jawa Tengah sekarang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sri Maharaja Matsyapati, merajai semua jenis binatang air.
Selain itu Wisnu juga menitis atau terlahir sebagai manusia. Titisan Wisnu menurut pewayangan antara lain,
1.Srimaharaja Kanwa.
2.Resi Wisnungkara
3.Prabu Arjunasasrabahu
4.Sri Ramawijaya
5.Sri Batara Kresna
6.Prabu Jayabaya
7.Prabu Anglingdarma
Sumber : Wikipedia
R amayana
Ramayana sebenarnya diambil dari ceritera yang benar-benar terjadi di daratan India. Saat itu daratan India dikalahkan oleh India Lautan yang juga disebut tanah Srilangka atau Langka, yang dalam pewayangan disebut Alengka. Tokoh Rama adalah pahlawan negeri India daratan, yang kemudian berhasil menghimpun kekuatan rakyat yang dilukiskan sebagai pasukan kera pimpinan Prabu Sugriwa. Sedang tanah yang direbut penguasa Alengka dilukiskan sebagai Dewi Sinta (dalam bahasa Sanskerta berarti tanah). Dalam penjajahan oleh negeri lain, umumnya segala peraturan negara dan budaya suatu bangsa akan mudah berganti dan berubah tatanan, yang digambarkan berupa kesucian Sinta yang diragukan diragukan.
Maka setelah Sinta dibebaskan, ia lantas pati obong, yang artinya keadaan negeri India mulai dibenahi, dengan merubah peraturan dan melenyapkan kebudayaan si bekas penjajah yang sempat berkembang di India. sebenarnya diambil dari ceritera yang benar-benar terjadi di daratan India. Saat itu daratan India dikalahkan oleh India Lautan yang juga disebut tanah Srilangka atau Langka, yang dalam pewayangan disebut Alengka. Tokoh Rama adalah pahlawan negeri India daratan, yang kemudian berhasil menghimpun kekuatan rakyat yang dilukiskan sebagai pasukan kera pimpinan Prabu Sugriwa. Sedang tanah yang direbut penguasa Alengka dilukiskan sebagai Dewi Sinta (dalam bahasa Sanskerta berarti tanah). Dalam penjajahan oleh negeri lain, umumnya segala peraturan negara dan budaya suatu bangsa akan mudah berganti dan berubah tatanan, yang digambarkan berupa kesucian Sinta yang diragukan diragukan. Maka setelah Sinta dibebaskan, ia lantas pati obong, yang artinya keadaan negeri India mulai dibenahi, dengan merubah peraturan dan melenyapkan kebudayaan si bekas penjajah yang sempat berkembang di India.
Dalam khazanah kesastraan Ramayana Jawa Kuno, dalam versi kakawin (bersumber dari karya sastra India abad VI dan VII yang berjudul Ravanavadha/kematian Rahwana yang disusun oleh pujangga Bhatti dan karya sastranya ini sering disebut Bhattikavya) dan versi prosa (mungkin bersumber dari Epos Walmiki kitab terakhir yaitu Uttarakanda dari India), secara singkat kisah Ramayana diawali dengan adanya seseorang bernama Rama, yaitu putra mahkota Prabu Dasarata di Kosala dengan ibukotanya Ayodya. Tiga saudara tirinya bernama Barata, Laksmana dan Satrukna. Rama lahir dari isteri pertama Dasarata bernama Kausala, Barata dari isteri keduanya bernama Kaikeyi serta Laksmana dan Satrukna dari isterinya ketiga bernama Sumitra. Mereka hidup rukun.
Sejak remaja, Rama dan Laksmana berguru kepada Wismamitra sehingga menjadi pemuda tangguh. Rama kemudian mengikuti sayembara di Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur pusaka milik Prabu Janaka, ia dihadiahi putri sulungnya bernama Sinta, sedangkan Laksmana dinikahkan dengan Urmila, adik Sinta.
Setelah Dasarata tua, Rama yang direncanakan untuk menggantikannya menjadi raja, gagal setelah Kaikeyi mengingatkan janji Dasarata bahwa yang berhak atas tahta adalah Barata dan Rama harus dibuang selama 15 (lima belas) tahun. Atas dasar janji itulah dengan lapang dada Rama pergi mengembara ke hutan Dandaka, meskipun dihalangi ibunya maupun Barata sendiri. Kepergiannya itu diikuti oleh Sinta dan Laksmana.
Namun kepergian Rama membuat Dasarata sedih dan akhirnya meninggal. Untuk mengisi kekosongan singgasana, para petinggi kerajaan sepakat mengangkat Barata sebagai raja. Tapi ia menolak, karena menganggap bahwa tahta itu milik Rama, sang kakak. Untuk itu Barata disertai parajurit dan punggawanya, menjemput Rama di hutan. Saat ketemu kakaknya, Barata sambil menangis menuturkan perihal kematian Dasarata dan menyesalkan kehendak ibunya, untuk itu ia dan para punggawanya meminta agar Rama kembali ke Ayodya dan naik tahta. Tetapi Rama menolak serta tetap melaksanakan titah ayahandanya dan tidak menyalahkan sang ibu tiri, Kaikeyi, sekaligus membujuk Barata agar bersedia naik tahta. Setelah menerima sepatu dari Rama, Barata kembali ke kerajaan dan berjanji akan menjalankan pemerintahan sebagai wakil kakaknya
Banyak cobaan yang dihadapi Rama dan Laksmana, dalam pengembaraannya di hutan. Mereka harus menghadapi para raksasa yang meresahkan masyarakat disekitar hutan Kandaka itu. Musuh yang menjengkelkan adalah Surpanaka, raksesi yang menginginkan Rama dan Laksmana menjadi suaminya. Akibatnya, hidung dan telinga Surpanaka dibabat hingga putus oleh Laksmana. Dengan menahan sakit dan malu, Surpanaka mengadu kepada kakaknya, yaitu Rahwana yang menjadi raja raksasa di Alengka, sambil membujuk agar Rahwana merebut Sinta dari tangan Rama.
Dengan bantuan Marica yang mengubah diri menjadi kijang keemasan, Sinta berhasil diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka.
Burung Jatayu yang berusaha menghalangi, tewas oleh senjata Rahwana. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Jatayu masih sempat mengabarkan nasib Sinta kepada Rama dan Laksmana yang sedang mencarinya.Dalam mencari Sinta, Rama dan Laksamana berjumpa pembesar kera yang bernama Sugriwa dan Hanuman. Mereka mengikat persahabatan dalam suka dan duka. Dengan bantuan Rama, Sugriwa dapat bertahta kembali di Kiskenda setelah berhasil mengalahkan Subali yang lalim. Setelah itu, Hanuman diperintahkan untuk membantu Rama mencari Sinta. Dengan pasukan kera yang dipimpin Anggada, anak Subali, mereka pergi mencari Sinta.
Atas petunjuk Sempati, kakak Jatayu, mereka menuju ke pantai selatan. Untuk mencapai Alengka, Hanuman meloncat dari puncak gunung Mahendra. Setibanya di ibukota Alengka, Hanuman berhasil menemui Sinta dan mengabarkan bahwa Rama akan segera membebaskannya. Sekembalinya dari Alengka, Hanuman melapor kepada Rama. Strategi penyerbuan pun segera disusun. Atas saran Wibisana, adik Rahwana yang membelot ke pasukan Rama, dibuatlah jembatan menuju Alengka. Setelah jembatan jadi, berhamburanlah pasukan kera menyerbu Alengka. Akhirnya, Rahwana dan pasukannya hancur. Wibisana kemudian dinobatkan menjadi raja Alengka, menggantikan kakaknya yang mati dalam peperangan. Yang menarik dan sampai saat ini sangat populer di Jawa, adalah adanya ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah kerajaan atau negara dari Rama kepada Wibisana, yang dikenal dengan sebutan ASTHABRATA.
Setelah berhasil membebaskan Sinta, pergilah Rama dan Sinta serta Laksmana dan seluruh pasukan (termasuk pasukan kera) ke Ayodya. Setibanya di ibukota negera Kosala itu, mereka disambut dengan meriah oleh Barata, Satrukna, para ibu Suri, para punggawa dan para prajurit, serta seluruh rakyat Kosala. Dengan disaksikan oleh mereka, Rama kemudian dinobatkan menjadi raja.
Pada akhir ceritera, ada perbedaan mencolok antara dua versi Ramayana Jawa Kuno. Untuk versi kakawin dikisahkan, bahwa Sinta amat menderita karena tidak segera diterima oleh Rama karena dianggap ternoda. Setelah berhasil membersihkan diri dari kobaran api, Sinta diterimanya. Dijelaskan oleh Rama, bahwa penyucian itu harus dilakukan untuk menghilangkan prasangka buruk atas diri isterinya. Mereka bahagia.
Sedangkan di dalam versi prosa, menceritakan bagaimana Rama terpengaruh oleh rakyatnya yang menyangsikan kesucian Sinta. Disini Sinta yang sedang mengandung di usir oleh Rama dari istana. Kelak Sinta melahirkan 2 (dua) anak kembar yaitu Kusha dan Lawa. Kemudian kisah ini diahiri dengan ditelannya Sinta oleh Bumi.
Kisah Ramayana mempunyai banyak versi dengan berbagai penyimpangan isi cerita, termasuk di India sendiri. Penyebarannya hampir di seperempat penduduk dunia atau minimal di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia, diketahui sekitar 7 - 8 abad yang lalu, walau sesungguhnya di Indonesia dapat ditemukan jauh lebih dini yaitu sebelum abad 2 Sebelum Masehi.
Ramayana dari asal kata Rama yang berarti menyenangkan; menarik; anggun; cantik; bahagia, dan Yana berarti pengembaraan. Cerita inti Ramayana diperkirakan ditulis oleh Walmiki dari India disekitar tahun 400 SM yang kisahnya dimulai antara 500 SM sampai tahun 200, dan dikembangkan oleh berbagai penulis. Kisah Ramayana ini menjadi kitab suci bagi agama Wishnu, yang tokoh-tokohnya menjadi teladan dalam hidup, kebenaran, keadilan, kepahlawanan, persahabatan dan percintaan, yaitu: Rama, Sita, Leksmana, Sugriwa, Hanuman, Wibisana. Namun disini, kami informasikan tentang Ramayana versi Jawa.
Di zaman Mataram Kuno saat Prabu Dyah Balitung (Dinasti Sanjaya) bertahta, telah ada kitab sastra Ramayana berbahasa Jawa Kuno (Jawa Kawi), tidak menginduk pada Ramayana Walmiki, lebih singkat, memuat banyak ajaran dan katanya berbahasa indah. Di awal abad X sang raja membuat candi untuk pemujaan dewa Shiwa, yaitu Candi Prambanan (candi belum selesai sampai wafatnya raja yang, maka dilanjutkan oleh penggantinya yaitu Prabu Daksa) yang sekaligus menjadi tempat ia dikubur, dengan relief Ramayana namun berbeda dengan isi cerita Ramayana dimaksud.
Ramayana Jawa Kuno memiliki 2 (dua) versi, yaitu Kakawin dan Prosa, yang bersumber dari naskah India yang berbeda, yang perbedaan itu terlihat dari akhir cerita. Selain kedua versi itu, terdapat yang lain yaitu Hikayat Sri Rama, Rama Keling dan lakon-lakon.
Cerita Ramayana semakin diterima di Jawa, setelah melalui pertunjukan wayang (wayang orang, wayang kulit purwa termasuk sendratari). Tapi ia kalah menarik dengan wayang yang mengambil cerita Mahabharata, karena tampilan ceritanya sama sekali tidak mewakili perasaan kaum awam (hanya pantas untuk kaum Brahmana dan Satria) walau jika dikaji lebih mendalam, cerita Ramayana sebenarnya merupakan simbol perjuangan rakyat merebut kemerdekaan negerinya.
Bahwa cerita Ramayana tidak bisa merebut hati kaum awam Jawa seperti Mahabharata, antara lain disebabkan:
• Ceritanya dipenuhi oleh lambang-lambang dan nasehat-nasehat kehidupan para bangsawan dan penguasa negeri, yang perilaku dan tindakannya tidak membaur di hati kaum awam;
• Ramayana adalah raja dengan rakyat bangsa kera yang musuhnya bangsa raksasa dengan rakyat para buta breduwak dan siluman;
• Kaum awam memiliki jalan pikiran yang relatif sangat sederhana, dan berharap pada setiap cerita berakhir pada kebahagiaan.
Yang menarik sampai saat ini di Indonesia (Jawa) adalah adanya suatu ajaran falsafah yang terdapat di Ramayana, yaitu ajaran Rama terhadap adik musuhnya bernama Gunawan Wibisana yang menggantikan kakaknya, Rahwana, setelah perang di Alengka. Ajaran itu dikenal dengan nama Asthabrata, (astha yang berarti delapan dan brata yang berarti ajaran atau laku). yang merupakan ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah negara atau kerajaan. Ajaran dimaksud yang juga dapat dilihat dalam Diaroma gambar wayang di Museum Purnabakti TMII (1994 M), yaitu :
1. Bumi : artinya sikap pemimpin bangsa harus meniru watak bumi atau momot-mengku bagi orang jawa, dimana bumi adalah wadah untuk apa saja, baik atau buruk, yang diolahnya sehingga berguna bagi kehidupan manusia;
2. Air : artinya jujur, bersih dan berwibawa, obat haus air maupun haus ilmu pengetahuan dan haus kesejahteraan;
3. Api : artinya seorang pemimpin haruslah pemberi semangat terhadap rakyatnya, pemberi kekuatan serta penghukum yang adil dan tegas;
4. Angin : artinya menghidupi dan menciptakan rasa sejuk bagi rakyatnya, selalu memperhatikan celah-celah di tempat serumit apapun, bisa sangat lembut serta bersahaja dan luwes, tapi juga bisa keras melebihi batas, selalu meladeni alam;
5. Surya : artinya pemberi panas, penerangan dan energie, sehingga tidak mungkin ada kehidupan tanpa surya/matahari, mengatur waktu secara disiplin;
6. Rembulan : artinya bulan adalah pemberi kedamaian dan kebahagiaan, penuh kasih sayang dan berwibawa, tapi juga mencekam dan seram, tidak mengancam tapi disegani.
7. Lintang : artinya pemberi harapan-harapan baik kepada rakyatnya setinggi bintang dilangit, tapi rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri, disamping harus mengakui kelebihan-kelebihan orang lain;
8. Mendung : artinya pemberi perlindungan dan payung, berpandangan tidak sempit, banyak pengetahuannya tentang hidup dan kehidupan, tidak mudak menerima laporan asal membuat senang, suka memberi hadiah bagi yang berprestasi dan menghukum dengan adil bagi pelanggar hukum.
Prof. Dr. Porbatjaraka, seorang ahli sejarah dan kebudayaan Jawa, setelah membaca kitab Ramayana Jawa Kuna Kakawin, memberi komentar : "Ini merupakan peninggalan leluhur Jawa, yang sungguh adiluhung, cukup untuk bekal hidup kebatinan". Dalam cakupan luas, pengaruh Ramayana terhadap filsafat hidup Jawa dapat diketahui dari Sastra Jendra, Sastra Cetha dan Asthabrata.
Sari dari Sastra Jendra adalah ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan, mengandung isi dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun karena ilmu ini bersifat sangat rahasia (tidak disebarluaskan secara terbuka karena penuh penghayatan bathin yang terkadang sulit diterima umum secara rasional), maka tidak mungkin disebar-luaskan secara terbuka. Sebelum seseorang menyerap ilmu ini ia harus mengerti terlebih dahulu tentang mikro dan makro kosmos, sehingga yang selama ini dipaparkan termasuk melalui wayang, hanyalah kulitnya saja. Sastra Cetha (terang) adalah berisi ajaran tentang peran, sifat dan perilaku raja. Sedangkan Asthabrata telah diuraikan tersebut diatas.
Kisah Ramayana muncul dalam banyak versi, yaitu antara lain di Vietnam, Kamboja, Laos, Burma, Thailand, Cina, Indonesia maupun di India (tempat asal cerita) sendiri. Menurut Dr.Soewito S. Wiryonagoro, di Indonesia sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) versi, yaitu Ramayana Kakawin, yang terlukis dalam relief-relief di dinding candi seperti candi Lorojonggrang Prambanan dan Candi Penataran, dan yang berkembang di masyarakat dalam wujud cerita drama.(wayang kulit, sandiwara dan film).
Ramayana dari asal kata Rama = menyenangkan/menarik/anggun/cantik/bahagia dan Yana berarti pengembaraan., yang kisah tersebut ditulis Walmiki dari India sekitar tahun 400 Sebelum Masehi, berbahasa Sanskerta, yang selanjutnya dikembangkan oleh penulis-penulis lain, sehingga minimal juga ada 3 (tiga) kisah Ramayana versi India.
Di jaman Mataram kuna, saat Prabu Balitung (dinasti Sanjaya) memerintah, telah ada kitab sastra Ramayana dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi), yang tidak menginduk pada Ramayana Walmiki.
Maka setelah Sinta dibebaskan, ia lantas pati obong, yang artinya keadaan negeri India mulai dibenahi, dengan merubah peraturan dan melenyapkan kebudayaan si bekas penjajah yang sempat berkembang di India. sebenarnya diambil dari ceritera yang benar-benar terjadi di daratan India. Saat itu daratan India dikalahkan oleh India Lautan yang juga disebut tanah Srilangka atau Langka, yang dalam pewayangan disebut Alengka. Tokoh Rama adalah pahlawan negeri India daratan, yang kemudian berhasil menghimpun kekuatan rakyat yang dilukiskan sebagai pasukan kera pimpinan Prabu Sugriwa. Sedang tanah yang direbut penguasa Alengka dilukiskan sebagai Dewi Sinta (dalam bahasa Sanskerta berarti tanah). Dalam penjajahan oleh negeri lain, umumnya segala peraturan negara dan budaya suatu bangsa akan mudah berganti dan berubah tatanan, yang digambarkan berupa kesucian Sinta yang diragukan diragukan. Maka setelah Sinta dibebaskan, ia lantas pati obong, yang artinya keadaan negeri India mulai dibenahi, dengan merubah peraturan dan melenyapkan kebudayaan si bekas penjajah yang sempat berkembang di India.
Dalam khazanah kesastraan Ramayana Jawa Kuno, dalam versi kakawin (bersumber dari karya sastra India abad VI dan VII yang berjudul Ravanavadha/kematian Rahwana yang disusun oleh pujangga Bhatti dan karya sastranya ini sering disebut Bhattikavya) dan versi prosa (mungkin bersumber dari Epos Walmiki kitab terakhir yaitu Uttarakanda dari India), secara singkat kisah Ramayana diawali dengan adanya seseorang bernama Rama, yaitu putra mahkota Prabu Dasarata di Kosala dengan ibukotanya Ayodya. Tiga saudara tirinya bernama Barata, Laksmana dan Satrukna. Rama lahir dari isteri pertama Dasarata bernama Kausala, Barata dari isteri keduanya bernama Kaikeyi serta Laksmana dan Satrukna dari isterinya ketiga bernama Sumitra. Mereka hidup rukun.
Sejak remaja, Rama dan Laksmana berguru kepada Wismamitra sehingga menjadi pemuda tangguh. Rama kemudian mengikuti sayembara di Matila ibukota negara Wideha. Berkat keberhasilannya menarik busur pusaka milik Prabu Janaka, ia dihadiahi putri sulungnya bernama Sinta, sedangkan Laksmana dinikahkan dengan Urmila, adik Sinta.
Setelah Dasarata tua, Rama yang direncanakan untuk menggantikannya menjadi raja, gagal setelah Kaikeyi mengingatkan janji Dasarata bahwa yang berhak atas tahta adalah Barata dan Rama harus dibuang selama 15 (lima belas) tahun. Atas dasar janji itulah dengan lapang dada Rama pergi mengembara ke hutan Dandaka, meskipun dihalangi ibunya maupun Barata sendiri. Kepergiannya itu diikuti oleh Sinta dan Laksmana.
Namun kepergian Rama membuat Dasarata sedih dan akhirnya meninggal. Untuk mengisi kekosongan singgasana, para petinggi kerajaan sepakat mengangkat Barata sebagai raja. Tapi ia menolak, karena menganggap bahwa tahta itu milik Rama, sang kakak. Untuk itu Barata disertai parajurit dan punggawanya, menjemput Rama di hutan. Saat ketemu kakaknya, Barata sambil menangis menuturkan perihal kematian Dasarata dan menyesalkan kehendak ibunya, untuk itu ia dan para punggawanya meminta agar Rama kembali ke Ayodya dan naik tahta. Tetapi Rama menolak serta tetap melaksanakan titah ayahandanya dan tidak menyalahkan sang ibu tiri, Kaikeyi, sekaligus membujuk Barata agar bersedia naik tahta. Setelah menerima sepatu dari Rama, Barata kembali ke kerajaan dan berjanji akan menjalankan pemerintahan sebagai wakil kakaknya
Banyak cobaan yang dihadapi Rama dan Laksmana, dalam pengembaraannya di hutan. Mereka harus menghadapi para raksasa yang meresahkan masyarakat disekitar hutan Kandaka itu. Musuh yang menjengkelkan adalah Surpanaka, raksesi yang menginginkan Rama dan Laksmana menjadi suaminya. Akibatnya, hidung dan telinga Surpanaka dibabat hingga putus oleh Laksmana. Dengan menahan sakit dan malu, Surpanaka mengadu kepada kakaknya, yaitu Rahwana yang menjadi raja raksasa di Alengka, sambil membujuk agar Rahwana merebut Sinta dari tangan Rama.
Dengan bantuan Marica yang mengubah diri menjadi kijang keemasan, Sinta berhasil diculik Rahwana dan dibawa ke Alengka.
Burung Jatayu yang berusaha menghalangi, tewas oleh senjata Rahwana. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Jatayu masih sempat mengabarkan nasib Sinta kepada Rama dan Laksmana yang sedang mencarinya.Dalam mencari Sinta, Rama dan Laksamana berjumpa pembesar kera yang bernama Sugriwa dan Hanuman. Mereka mengikat persahabatan dalam suka dan duka. Dengan bantuan Rama, Sugriwa dapat bertahta kembali di Kiskenda setelah berhasil mengalahkan Subali yang lalim. Setelah itu, Hanuman diperintahkan untuk membantu Rama mencari Sinta. Dengan pasukan kera yang dipimpin Anggada, anak Subali, mereka pergi mencari Sinta.
Atas petunjuk Sempati, kakak Jatayu, mereka menuju ke pantai selatan. Untuk mencapai Alengka, Hanuman meloncat dari puncak gunung Mahendra. Setibanya di ibukota Alengka, Hanuman berhasil menemui Sinta dan mengabarkan bahwa Rama akan segera membebaskannya. Sekembalinya dari Alengka, Hanuman melapor kepada Rama. Strategi penyerbuan pun segera disusun. Atas saran Wibisana, adik Rahwana yang membelot ke pasukan Rama, dibuatlah jembatan menuju Alengka. Setelah jembatan jadi, berhamburanlah pasukan kera menyerbu Alengka. Akhirnya, Rahwana dan pasukannya hancur. Wibisana kemudian dinobatkan menjadi raja Alengka, menggantikan kakaknya yang mati dalam peperangan. Yang menarik dan sampai saat ini sangat populer di Jawa, adalah adanya ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah kerajaan atau negara dari Rama kepada Wibisana, yang dikenal dengan sebutan ASTHABRATA.
Setelah berhasil membebaskan Sinta, pergilah Rama dan Sinta serta Laksmana dan seluruh pasukan (termasuk pasukan kera) ke Ayodya. Setibanya di ibukota negera Kosala itu, mereka disambut dengan meriah oleh Barata, Satrukna, para ibu Suri, para punggawa dan para prajurit, serta seluruh rakyat Kosala. Dengan disaksikan oleh mereka, Rama kemudian dinobatkan menjadi raja.
Pada akhir ceritera, ada perbedaan mencolok antara dua versi Ramayana Jawa Kuno. Untuk versi kakawin dikisahkan, bahwa Sinta amat menderita karena tidak segera diterima oleh Rama karena dianggap ternoda. Setelah berhasil membersihkan diri dari kobaran api, Sinta diterimanya. Dijelaskan oleh Rama, bahwa penyucian itu harus dilakukan untuk menghilangkan prasangka buruk atas diri isterinya. Mereka bahagia.
Sedangkan di dalam versi prosa, menceritakan bagaimana Rama terpengaruh oleh rakyatnya yang menyangsikan kesucian Sinta. Disini Sinta yang sedang mengandung di usir oleh Rama dari istana. Kelak Sinta melahirkan 2 (dua) anak kembar yaitu Kusha dan Lawa. Kemudian kisah ini diahiri dengan ditelannya Sinta oleh Bumi.
Kisah Ramayana mempunyai banyak versi dengan berbagai penyimpangan isi cerita, termasuk di India sendiri. Penyebarannya hampir di seperempat penduduk dunia atau minimal di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia, diketahui sekitar 7 - 8 abad yang lalu, walau sesungguhnya di Indonesia dapat ditemukan jauh lebih dini yaitu sebelum abad 2 Sebelum Masehi.
Ramayana dari asal kata Rama yang berarti menyenangkan; menarik; anggun; cantik; bahagia, dan Yana berarti pengembaraan. Cerita inti Ramayana diperkirakan ditulis oleh Walmiki dari India disekitar tahun 400 SM yang kisahnya dimulai antara 500 SM sampai tahun 200, dan dikembangkan oleh berbagai penulis. Kisah Ramayana ini menjadi kitab suci bagi agama Wishnu, yang tokoh-tokohnya menjadi teladan dalam hidup, kebenaran, keadilan, kepahlawanan, persahabatan dan percintaan, yaitu: Rama, Sita, Leksmana, Sugriwa, Hanuman, Wibisana. Namun disini, kami informasikan tentang Ramayana versi Jawa.
Di zaman Mataram Kuno saat Prabu Dyah Balitung (Dinasti Sanjaya) bertahta, telah ada kitab sastra Ramayana berbahasa Jawa Kuno (Jawa Kawi), tidak menginduk pada Ramayana Walmiki, lebih singkat, memuat banyak ajaran dan katanya berbahasa indah. Di awal abad X sang raja membuat candi untuk pemujaan dewa Shiwa, yaitu Candi Prambanan (candi belum selesai sampai wafatnya raja yang, maka dilanjutkan oleh penggantinya yaitu Prabu Daksa) yang sekaligus menjadi tempat ia dikubur, dengan relief Ramayana namun berbeda dengan isi cerita Ramayana dimaksud.
Ramayana Jawa Kuno memiliki 2 (dua) versi, yaitu Kakawin dan Prosa, yang bersumber dari naskah India yang berbeda, yang perbedaan itu terlihat dari akhir cerita. Selain kedua versi itu, terdapat yang lain yaitu Hikayat Sri Rama, Rama Keling dan lakon-lakon.
Cerita Ramayana semakin diterima di Jawa, setelah melalui pertunjukan wayang (wayang orang, wayang kulit purwa termasuk sendratari). Tapi ia kalah menarik dengan wayang yang mengambil cerita Mahabharata, karena tampilan ceritanya sama sekali tidak mewakili perasaan kaum awam (hanya pantas untuk kaum Brahmana dan Satria) walau jika dikaji lebih mendalam, cerita Ramayana sebenarnya merupakan simbol perjuangan rakyat merebut kemerdekaan negerinya.
Bahwa cerita Ramayana tidak bisa merebut hati kaum awam Jawa seperti Mahabharata, antara lain disebabkan:
• Ceritanya dipenuhi oleh lambang-lambang dan nasehat-nasehat kehidupan para bangsawan dan penguasa negeri, yang perilaku dan tindakannya tidak membaur di hati kaum awam;
• Ramayana adalah raja dengan rakyat bangsa kera yang musuhnya bangsa raksasa dengan rakyat para buta breduwak dan siluman;
• Kaum awam memiliki jalan pikiran yang relatif sangat sederhana, dan berharap pada setiap cerita berakhir pada kebahagiaan.
Yang menarik sampai saat ini di Indonesia (Jawa) adalah adanya suatu ajaran falsafah yang terdapat di Ramayana, yaitu ajaran Rama terhadap adik musuhnya bernama Gunawan Wibisana yang menggantikan kakaknya, Rahwana, setelah perang di Alengka. Ajaran itu dikenal dengan nama Asthabrata, (astha yang berarti delapan dan brata yang berarti ajaran atau laku). yang merupakan ajaran tentang bagaimana seharusnya seseorang memerintah sebuah negara atau kerajaan. Ajaran dimaksud yang juga dapat dilihat dalam Diaroma gambar wayang di Museum Purnabakti TMII (1994 M), yaitu :
1. Bumi : artinya sikap pemimpin bangsa harus meniru watak bumi atau momot-mengku bagi orang jawa, dimana bumi adalah wadah untuk apa saja, baik atau buruk, yang diolahnya sehingga berguna bagi kehidupan manusia;
2. Air : artinya jujur, bersih dan berwibawa, obat haus air maupun haus ilmu pengetahuan dan haus kesejahteraan;
3. Api : artinya seorang pemimpin haruslah pemberi semangat terhadap rakyatnya, pemberi kekuatan serta penghukum yang adil dan tegas;
4. Angin : artinya menghidupi dan menciptakan rasa sejuk bagi rakyatnya, selalu memperhatikan celah-celah di tempat serumit apapun, bisa sangat lembut serta bersahaja dan luwes, tapi juga bisa keras melebihi batas, selalu meladeni alam;
5. Surya : artinya pemberi panas, penerangan dan energie, sehingga tidak mungkin ada kehidupan tanpa surya/matahari, mengatur waktu secara disiplin;
6. Rembulan : artinya bulan adalah pemberi kedamaian dan kebahagiaan, penuh kasih sayang dan berwibawa, tapi juga mencekam dan seram, tidak mengancam tapi disegani.
7. Lintang : artinya pemberi harapan-harapan baik kepada rakyatnya setinggi bintang dilangit, tapi rendah hati dan tidak suka menonjolkan diri, disamping harus mengakui kelebihan-kelebihan orang lain;
8. Mendung : artinya pemberi perlindungan dan payung, berpandangan tidak sempit, banyak pengetahuannya tentang hidup dan kehidupan, tidak mudak menerima laporan asal membuat senang, suka memberi hadiah bagi yang berprestasi dan menghukum dengan adil bagi pelanggar hukum.
Prof. Dr. Porbatjaraka, seorang ahli sejarah dan kebudayaan Jawa, setelah membaca kitab Ramayana Jawa Kuna Kakawin, memberi komentar : "Ini merupakan peninggalan leluhur Jawa, yang sungguh adiluhung, cukup untuk bekal hidup kebatinan". Dalam cakupan luas, pengaruh Ramayana terhadap filsafat hidup Jawa dapat diketahui dari Sastra Jendra, Sastra Cetha dan Asthabrata.
Sari dari Sastra Jendra adalah ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan, mengandung isi dan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun karena ilmu ini bersifat sangat rahasia (tidak disebarluaskan secara terbuka karena penuh penghayatan bathin yang terkadang sulit diterima umum secara rasional), maka tidak mungkin disebar-luaskan secara terbuka. Sebelum seseorang menyerap ilmu ini ia harus mengerti terlebih dahulu tentang mikro dan makro kosmos, sehingga yang selama ini dipaparkan termasuk melalui wayang, hanyalah kulitnya saja. Sastra Cetha (terang) adalah berisi ajaran tentang peran, sifat dan perilaku raja. Sedangkan Asthabrata telah diuraikan tersebut diatas.
Kisah Ramayana muncul dalam banyak versi, yaitu antara lain di Vietnam, Kamboja, Laos, Burma, Thailand, Cina, Indonesia maupun di India (tempat asal cerita) sendiri. Menurut Dr.Soewito S. Wiryonagoro, di Indonesia sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) versi, yaitu Ramayana Kakawin, yang terlukis dalam relief-relief di dinding candi seperti candi Lorojonggrang Prambanan dan Candi Penataran, dan yang berkembang di masyarakat dalam wujud cerita drama.(wayang kulit, sandiwara dan film).
Ramayana dari asal kata Rama = menyenangkan/menarik/anggun/cantik/bahagia dan Yana berarti pengembaraan., yang kisah tersebut ditulis Walmiki dari India sekitar tahun 400 Sebelum Masehi, berbahasa Sanskerta, yang selanjutnya dikembangkan oleh penulis-penulis lain, sehingga minimal juga ada 3 (tiga) kisah Ramayana versi India.
Di jaman Mataram kuna, saat Prabu Balitung (dinasti Sanjaya) memerintah, telah ada kitab sastra Ramayana dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi), yang tidak menginduk pada Ramayana Walmiki.
Kakawin Arjunawiwaha
Bagian Pertama: Penulisan Kakawin
Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakawin yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakawin), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakawin ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan … “Sembah kehadapan Sri Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu” (Sri Airlanggha namastu sang panikelanya tanah anumata).
Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha), perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakawin.
Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha), kekuatiran (bhayanaka ) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).
Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk-hati Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya menjalankan tapa-brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakawin. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun ke-bakti-an dari yang memuja.
Demikianlah Kakawin Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga-puluh enam pupuh dalam kakawin menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakawin, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).
Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakawin yang suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala-sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka-panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis … “Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa …” (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh kejayaan di mana-mana.
Bagian kedua: Pembacaan Kakawin
(Mukha)/(1.4-1.5): Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga, Kakawin Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang ke-jaya-an Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakawin ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah oleh hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa.
(Pratimukha)/(1.6-VI.9): Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan-hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan batin yang sempurna. etika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-olokkan dan menggugah rasa ke-ksatria-an Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta-kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).
(Garbha)/(VII.1-XII.14): Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap waspada, tampak penuh kesiap – siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas serangan senjata Sang Kirata.Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah. Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi (mawirya lawan maguna).
(Vimarsa)/(XIII.1 – XXI.7): Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka.
(Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2): Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang- belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Bagian Ketiga: Pemahaman Kakawin
Adapun tujuan penulisan Kakawin Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakawin yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.
Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya (dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya.
Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak apat dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala ). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia ke-sakti-annya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti, sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran.
Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening-jernih (alilang), bebas-lepas (huwa-huwa), dan bahagia-baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya.
Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan ke-maya-an itupun dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam ke-maya-an hidup itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu).
Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu ke-maya-an, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba). Ketujuh bidadari, yaitu daya-sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam samadhi-yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana teratai manikam (padmasana mani).
Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua-belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati ke-suwung-an (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati … sukha tan pabalik dukha).
Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran ke-sakti-an di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam-semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah-api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.
Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma), sebagai sumber ketertiban alam-semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung (nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam kakawinnya … “Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan” (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) … “Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra” (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta).
Sang Pujangga Kawi menggubah kakawin tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakawin, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama … “Itulah kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami” (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakawin melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan … “Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku” (rapwan ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia.
Catatan Pribadi – diambil dari ARJUNAWIWAHA – transformasi teks jawa kuna lewat tanggapan dan penciptaan di lingkungan sastra jawa – oleh I. Kuntara Wiryamartana – Duta Wacana University Press, 1990
Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakawin yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakawin), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakawin ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan … “Sembah kehadapan Sri Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu” (Sri Airlanggha namastu sang panikelanya tanah anumata).
Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha), perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakawin.
Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha), kekuatiran (bhayanaka ) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).
Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk-hati Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya menjalankan tapa-brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakawin. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun ke-bakti-an dari yang memuja.
Demikianlah Kakawin Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga-puluh enam pupuh dalam kakawin menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakawin, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).
Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakawin yang suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala-sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka-panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis … “Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa …” (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh kejayaan di mana-mana.
Bagian kedua: Pembacaan Kakawin
(Mukha)/(1.4-1.5): Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga, Kakawin Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang ke-jaya-an Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakawin ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah oleh hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa.
(Pratimukha)/(1.6-VI.9): Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan-hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan batin yang sempurna. etika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-olokkan dan menggugah rasa ke-ksatria-an Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta-kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).
(Garbha)/(VII.1-XII.14): Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap waspada, tampak penuh kesiap – siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas serangan senjata Sang Kirata.Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah. Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi (mawirya lawan maguna).
(Vimarsa)/(XIII.1 – XXI.7): Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka.
(Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2): Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang- belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Bagian Ketiga: Pemahaman Kakawin
Adapun tujuan penulisan Kakawin Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakawin yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.
Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya (dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya.
Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak apat dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala ). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia ke-sakti-annya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti, sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran.
Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening-jernih (alilang), bebas-lepas (huwa-huwa), dan bahagia-baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya.
Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan ke-maya-an itupun dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam ke-maya-an hidup itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu).
Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu ke-maya-an, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba). Ketujuh bidadari, yaitu daya-sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam samadhi-yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana teratai manikam (padmasana mani).
Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua-belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati ke-suwung-an (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati … sukha tan pabalik dukha).
Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran ke-sakti-an di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam-semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah-api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.
Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma), sebagai sumber ketertiban alam-semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung (nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam kakawinnya … “Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan” (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) … “Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra” (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta).
Sang Pujangga Kawi menggubah kakawin tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakawin, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama … “Itulah kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami” (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakawin melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan … “Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku” (rapwan ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia.
Catatan Pribadi – diambil dari ARJUNAWIWAHA – transformasi teks jawa kuna lewat tanggapan dan penciptaan di lingkungan sastra jawa – oleh I. Kuntara Wiryamartana – Duta Wacana University Press, 1990
Langganan:
Postingan (Atom)